Catatan-Catatan Rumah Sakit

Pernahkah kau benar-benar sakit?
***
Bangsal yang sederhana, empat ranjang dihuni empat pasien, setengah enam para pendamping pasien yang biasanya anak, orang tua atau suami/istri pasien akan terbangun dengan badan yang pegal, lantai kamar bangsal bukanlah tempat yang empuk, tak ada sofa karena hidup bukan di shitnetron. Antara pukul tujuh sampai dengan pukul sembilan ruang dan tubuh pasien dibersihkan,kursi-kursi roda dijejerkan beberapa dari mereka akan diobservasi dan dioperasi, bukankah sebuah pagi yang sangat sibuk?

Antara jam-jam itu pula, kantin atau apapun namanya yang menjual makanan ramai dengan pengunjung, beberapa orang memesan makanan buat pendamping pasien bahkan makanan buat pasien sendiri yang sudah bosan dengan makanan rumah sakit, bukan sekedar karena rasa atau karena penyajian lebih dari itu karena ketika mata kita hanya bisa menubruk dinding-dinding putih rumah sakit setidaknya lidah kita tidak. 

Setelah jam-jam itu pengantar makanan rumah sakit datang membawa sarapan seadanya.
Dokter jaga akan berkeliling setelah jam sarapan dokter berlalu, atau setidaknya begitu yang saya anggap, saya tak tahu pasti di tengah kesibukannya bisakah dokter sarapan sebagiamana manusia biasa? Berbicara dengan pasien lima sampai sepuluh menit tersenyum manis memberi semangat, mereka sudah terlatih melakukannya menunjukkan empati, terkadang pula kita harus menahan geram jika dia datang dengan rombongan calon dokter yang cekikan, tapi begitulah masa muda , ada tawa dan pesta, bukankah begitu seharusnya?

Siang akan datang ,kantin akan didatangi lebih banyak pembeli lagi, sama seperti pagi tadi mata boleh bosan tapi setidaknya lidah mesti tetap berwisata, adzan akan berkumandang , mesjid akan ramai dengan doa-doa yang khusyuk, doa-doa kepada Sang Maha Penyembuh, antara dhuhur dan ashar waktu istrahat, beberapa orang akan berbaring di lantai mesjid setidaknya masih ada udara segar ketimbang berbaring di dalam kamar. Sedangkan pengantar makanan masuk mengantar makanan ke kamar-kamar membagikan makanan sesuai nama, dan akan datang lagi setengah jam kemudian mengambil tempat makan yang di dalamnya masih ada lauk yang tersisa.

Sore menjelang maghrib, beberapa penjenguk datang membawa kue atau apapun untuk menjenguk teman kerabat atau keluarga, mencoba memberi semangat namun memulai percakapan seperti wartawan tv yang membosankan. “sakitnya sejak kapan?”, “waktu sakit terasa dibagian mana”, “lho kok kamu bisa sakit padahal hidupmu sehat-sehat kok”. Beberapa pasien dengan kursi roda dan pendamping yang setia memegang infus mencoba berkeliling, setidaknya bisa melihat koridor, langit, dan warna selain warna kamar yang hanya putih itu.

Maghrib dan mesjid akan lebih penuh lagi, doa-doa dibiarkan mengetuk langit, setelah shalat beberapa orang mengaji ada yang berbaring letih.

Isya dan malam lalu datang dan mulailah mereka satu per satu pulang sisa pasien dan pendamping menatap dinding putih ditemani keletihan berbalut harapan, kapan melihat pintu rumah lagi?, kapan melihat tawa anak-anak lagi? Kapan melihat cucu-cucu bermain lagi? Kapan merasakan nyamannya kamar sendiri lagi?
****

Diantara semua waktu itu ada pasien yang pulang dengan kalimat syukur ada yang pulang dengan tangisan dan teriakan tak tertahan, sementara pasien sekamarnya hanya bisa berdoa menutup mata, semoga masih diperpanjang usia dan berharap arwah mantan rekan sekamar tidak tiba-tiba muncul menyapanya entah lewat mimpi entah lewat mata.
****
"Pernahkan kamu benar-benar sakit? Jika tiba waktumu semoga kamu belajar menjadi manusia kaku dalam pola pikir dan prilaku adalah manusia sakit!!"

Cat : versi editing dapat dibaca di birokreasi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kontra post, sebuah teori pembukuan usang

sajak Ibu made in Aan Mansyur

Puisi : Zeus di Bukit Olympus