sajak Ibu made in Aan Mansyur

pagi2 tadi Aan Mansyur lewat tweet nya mempersilahkan yang ingin mention dia buat minta sajak ibunya, so berhubung aku suka puisi, dan dialah adalah salah satu penyair terbaik indonesia yang asal makassar, jadi aku minta dan di kirim via email, saya copas saja ke blog ini karena saya belum sempat baca lagi sibuk tutup buku kas :)
Safinah*

1.

kau memasang langkah di kakiku.
kau memasang ayun di tanganku.
agar aku menjauh dan merindukanmu.

kau juga menyimpan sesuatu
di dalam waktu, aku tak tahu apa itu.
karenanya aku terus tumbuh menuju
semakin dekat ke masa kecilku,
semakin kembali ke bukit-dadamu,
semakin kembali ke lembah-rahimmu.

2.

dari berangkat langit mengikutiku
penuh lubang seperti jaring nelayan
selalu luput menangkap seekor ikan.

begitulah yang aku pikirkan di sini,
di kejauhan yang hiruk oleh sepi ini.

dan di dalam mataku yang terluka
selalu aku saksikan matamu terbuka
menampung seluruh langit yang nila
langit yang jauh dari musim hujan
langit yang meminta kita tiduran
di padang rumput sambil bercerita

tentang rupa-rupa nama burung
dan matahari sore yang murung.

3.

dulu aku mencuri sehelai fotomu dari album
dan aku sembunyikan di dompet kurusku
lalu berangkat tanpa tahu ke mana mengarah.

di sini, di tempat yang sungguh jauh dari rumah,
jauh dari album yang pernah menyimpan foto itu,
waktu melulu dipenuhi sapa sepi dan bunyi sunyi.

tapi dari dompetku selalu aku dengar kau bernyanyi
mengulang-ulang kata pulang dan rembang petang
supaya kedua kakiku semakin kuat buat bertualang

4.

di antara awan-awan yang melayang
alangkah biru angkasa itu.

di antara jalan-jalan yang membentang
alangkah rindu anakmu, ibu.

2006

*Safinah adalah nama ibuku

Mata Ibu

sejak dulu kala
matamu hulu kali.

airnya lelehan cermin.
menggenangi pipi, telaga tempat ikan-ikan
berenang: anak-anak yang engkau lahirkan,
tumbuh dewasa dan melepaskan
siripnya di antara batu-batu.

air itu jualah menguap ke langit
sebab tak ada mulut laut
mau jadi muara.

di ceruk pipimu, para pemancing datang
bagai gelombang pengungsi dari pulau-pulau jauh.

tetapi engkau sungguh tak tahu mengeluh.
sebab air kali itu membuat langit
selalu biru, selalu baru.
dan lelaki bangun mendapati
setiap hari sebagai hari baik buat memancing.

tetapi engkau sungguh tak tahu mengeluh.
mulutmu corong seluruh doa paling minta.
agar tuhan tak mengeringkan kali
sebelum ternak dan anak-anak
menemukan hujan.

2005

Tentang Senyuman Ibu

usiaku baru tiba di angka empat
saat sebuah bus berhenti di depan rumah
lalu pergi membawa lambaian ayah.

ketika itu ibu mengenakan senyuman.
pikirku, pasti ia sedang bahagia.
jadi aku kenakan juga senyuman,
aku juga ingin bahagia.

kini aku sudah jauh meninggalkan usia empat.
tapi bus yang dulu itu tidak pernah kembali
juga ayah dan oleh-oleh yang ia janjikan

telah lama aku menanggalkan senyuman.
namun ibu masih mengenakan senyuman yang sama
makanya selalu aku bertanya: apakah ibu masih bahagia?

sambil tersenyum, ibu akan menjawab:
aku selalu rindu dan menunggu ayahmu pulang.
itulah yang membuat aku tetap tersenyum.
itulah yang membuat aku tak henti bahagia.

2004

Puisi Tentang Doa yang Terbata-Bata

entah mengapa selalu aku bayangkan puisi ini
doa seorang anak kecil yang terbata-bata.

“tuhan, maukah kau mengatakan kepada bapak
agar dia berhenti bercita-cita seperti anak kecil?
dia ingin dunia dan isinya jadi tabungan keluarga.
katanya, untuk masa depanku. padahal aku tak
mau menanggung dosa itu. tuhan, tolonglah aku!”

entah mengapa selalu aku bayangkan diriku ini
seorang bapak diam-diam sedang menangis
membaca puisi ini, doa anakku yang terbata-bata ini.

“terima kasih, tuhan, kau jadikan anakku puisi!”

entah mengapa juga selalu aku bayangkan kau
ibu dari anakku beserta doanya juga puisi ini.

2006

Gambar Mirip Ibu

aku baru saja pindah kerja, menempati ruangan baru.
barangkali bekas pemilik ruangan ini sengaja memasang
di dinding dekat meja kerjaku, bingkai berisi gambar repro
seorang perempuan yang pernah berperan di film-film lama.
dia telentang telanjang di hamparan rumput warna hijau-coklat.
payudaranya aku lihat bagai bukit tak ditumbuhi pohon apapun.
putingnya lebih menyerupai batu nisan. tubuh siapakah gerangan
terkubur di sana?

semakin aku memandang gambar itu semakin aku merindukan ibuku.
dulu aku membayangkan tubuhku terkubur di antara dua payudaranya
selama-lamanya bayi, tidak mengenal kata-kata kecuali suara-suara
ayah yang selalu menghendaki aku tumbuh dewasa.

*

aku baru saja pindah kerja dan mendapati pimpinan baru.
di hari pertama wajahnya tak menyerupai wajah siapa pun
yang aku kenal. namun di hari kedua dan selanjutnya dia
berubah jadi ayahku: suka marah-marah dan menganggap aku
selalu seorang anak kecil, tak memahami apa-apa.setiap hari
dia menanam keperihan-keperihan baru di dadaku.

mungkin karena itulah bekas pemilik ruangan ini memasang
gambar perempuan telanjang mirip ibu, ibuku atau ibunya,
di dekat meja kerja. agar tak terlupa ibu satu-satunya
peri yang bisa menghibur segala rupa perih.

2007

Mencari Tubuh Ayah

dari pintu yang kuak setengah,
ibu melambaikan tangan
sambil tertunduk memasrahkan biji-biji
air mata kepada lantai.

air mata itulah tumbuh jadi laut
seluruh pantainya adalah muara.

suatu waktu, ayahmu kembali
dibawa lekuk-kelok kali.
aku akan menerimanya meski
telah menjadi daun kering,
atau sampah,
atau apa pun,
katanya padaku.

aku berenang berhari-hari
tapi laut luas dan buas sekali.
setiap pulau yang aku datangi
tak menyimpan tubuh ayah.

aku memanjat punggung-punggung gunung
tapi setiap tangga menuju arah yang salah.

ibu tetap menunggu di atas doa-doa
dan uban-ubannya rontok satu-satu
menjadi kayu bakar
memanaskan tungku tanah liat
agar kami, anak-anaknya, tetap kuat.

2006

Ada Tiga SMS Ibu Hari Ini

1.

kugunduli kepalamu sebelum pergi
rambutmu panjanglah saat kembali

sebelum aku berangkat, saat mengikat tali sepatu
di kaki tangga kayu, kau mengatakan pesan itu.

setelah masuk semua pintu salon di kota ini
berdoa kepada vitamin dan pencuci rambut
kepalaku tetaplah bukit gersang seperti dulu.

ibu, aku selalu percaya kau akan sabar
menunggu hingga rambutku tumbuh subur.

2.

apakah lidahmu penuh jejak kaki?

mulutku ini gua, di pintunya ada sarang laba-laba
tetapi tak ada seekor burung mau bertelur di sana.
ada ular, menunggu mangsanya, melingkar-lingkar
liurnya racun paling bisa dan tak memiliki penawar.

ibu, kecuali jejak tapakku sendiri,
tak selangkah kaki pun melewati.
itukah yang kau kehendaki?

3.

ada sebatang pohon aku tanam di dadamu.
apakah bayangannya meneduhi kepalamu?

aku tak pernah berhenti jadi anak-anak.
senang telanjang berlari di bawah hujan.
di tubuhku selalu ada yang minta disiram.

tetapi matahari di musim kemarau,
hanya menghormati bayanganmu.

2007


Sungai Susu
di pangkal tidur, kami mendengar bisikan.
halus bagai biji-biji hujan berkecambah.
siap tumbuh memanjat udara ke awan-awan
setelah diguyur panas matahari tidak terbelah.

“nak, mari ikut ibu berenang ke muara,
sungai susu sudah mulai mengaliri dada.”

kuntum-kuntum mata kami katupkan
dan menikmati tubuh hanyut perlahan.

2007


Kepada Ibunya, Batu Mengirim Asap

1.

setelah bara api bebatang kretekku
menghabiskan cengkeh dan tembakau,
akan kubakar pula rak dan buku-buku,
seprei dan tempat tidur, juga rumahku
bahkan kota dan hutan-hutan hijau.

aku hilang jejak dan alamatmu sejak dulu.
maka asap-asap akan mengabari dari jauh
seluruh risau juga rindu padamu.

ibu, doa siapa meneluhku jadi batu?

2.

rupanya, ada airmata di dada batu
yang jatuh setiap kali terdengar lagu
tentang rerumputan dan kerbau-kerbau,
tentang daun-daun kehilangan hijau,
juga tentang kampung yang jadi baru.

ada yang tak henti menangis, ibu.
langit, hulu sungai, laut dan mataku.

mungkin seorang berkata kepadamu
semua itu tidak akan pernah mampu
mengembalikan batu jadi anakmu
maka kubakar saja seluruh milikku.

asapnya mungkinkah tiba di situ?

3.

baiklah. baiklah biar kubakar jua diriku.
seperti membakar dupa-dupa atau kayu.
dan berharap asapku membawa bau-bau:
peluh, darah, nanah dan tanah, airmata, airsusu
yang adonannya dulu engkau buat menjadi aku.

namun, ibu, mohon setelah semua itu
jangan pernah engkau duduk lesu
menangisi anakmu menjelma abu
atau debu.

2005 
Sahabat-Sahabat Ibu

sejak kaki ayah tak lagi mengenal bilah-bilah
lantai rumah kayu yang pernah dibangunnya.
dan aku serta dua adikku memiliki pikiran
masing-masing yang berbeda satu sama lain.
ibu bersahabat dengan benda-benda tajam

1.

--jarum

untuk menjahit, katanya.
sebab waktu senantiasa selimut compang.
sementara tulang-tulangnya menjadi sarang
penyakit aneh yang tak bisa ia sebutkan namanya
seperti menyebut nama-nama orang yang dicintainya.

2.

--pisau

kadang ia benci ranum buah-buahan:
apel dan tomat yang merah, mangga
dan semangka berkulit kencang,
atau mentimun segar dan putih.

masa-masa remajanya tak bisa kembali
seperti juga alamat ayah yang sia-sia dicari.

3.

--gunting

bunga-bunga dan rumput di halaman
suka berubah jadi uban di kepalanya.
ia tak ingin ada hutan menyeramkan
tumbuh di sana. sebab bagaimanapun
ia tak pernah lelah menunggu anaknya
datang mencium keningnya atau mungkin
ayah dengan oleh-oleh sebuah cerita
tentang petualangan.

4.

--cermin

bukan dada dan pipinya yang suka ia ajak bicara.
tetapi ia senang menantang sepasang matanya
agar terus bertahan dan tidak segera menyerah
kepada musim hujan dan mimpi-mimpi buruk
yang selalu bersiap melompat masuk ke sana.

2007



Telur Dadar

aku sungguh-sungguh lapar.

dari bingkai jendela kamar,
matahari sore terlihat persis telur dadar.
matang sempurna dan besar-lebar.

tetapi telur dadar itu sudah terbagi-bagi.
dipotong olej antena-antena tivi tetangga,
oleh kabel-kabel listrik dan telepon.
tak ada sedikit pun untuk perutku.

aku berusaha menahan airmata tak jatuh
teringat lagi telur dadar ibu.
dulu aku selalu dapat satu. utuh
seperti cintanya kepada kanak-kanakku.

dengan air liur leleh tak lelah
kutatap tanpa kedip telur dadar itu.
namun beberapa detik saja kemudian
ia telah lenyap disantaplahap.
oleh siapa, aku tak tahu.
dan lalu tinggallah langit
seperti piring kotor belum dicuci.

sebentar jika gelap melingkup alam,
lampu malam satu per satu padam,
aku akan merangkak ke luar kamar.
diam-diam menjilat piring langit
sebelum dibersihkan hujan atau embun
sekadar menghibur perut lapar
lalu tidur memimpikan telur dadar
ibu.

2007



Sesaat Setelah Kapal Bersandar

tak ada yang lebih letih dari kapal yang bersandar
setelah menempuh perjalanan dari bandar ke bandar
kecuali tubuhku yang mungkin telah berubah lain
di bening kelereng matamu.

sepasang tanganmukah dermaga itu?

menjulur ingin merengkuh
membawaku ke dalam dadamu
yang bergetar seperti geladak
di rambut panjang laut berombak.

kuku-kukumu baru saja kau potong
agar tak melukai punggungku gosong .

namun urat-uratnya tak mampu kau sembunyikan
seperti tangis yang kau kulum dengan senyum
atau sesekali gigitan di bibir bawah.

mereka menjalar bagai akar-akar pohonan tua—
sisa hidupnya hanya kepedihan.

inilah petualangan terakhirku, ibu,
setelah semua dermaga yang pernah menerimaku
tidak lebih lidah perempuan-perempuan nakal.
menjilat lalu muntah sambil mengumpat-umpat.
tak tahan pada kerat-kerat
dagingku dan keringat pekat
yang kusuling dari mata air susumu

2006



Mencatat Ibu Buat Ayah

1.

jika dia dengar buah-buah mangga
di belakang rumah berjatuhan.
dia selalu bertanya kepada engkau

“apakah mereka sudah matang
atau tak betah bertahan di dahan?”

tapi tubuhmu sudah bertahun-tahun
memilih diam dalam selembar foto,
tubuhmu yang tak punya bayangan.
sebab tubuhmu yang hidup pergi
menjelajah tempat-tempat tanpa alamat.

tetapi dia tetap tersenyum dan yakin
engkau semakin jauh masuk ke dalam
jiwanya yang dipenuhi mata air.

dia tabah seperti perigi.

2.

dia akhirnya membeli telepon genggam
meskipun tidak tahu berapa nomormu

dari balik kamar selalu aku dengar
dia meminta kepadamu dengan
bibir gemetar

“suamiku, dekatkan sedikit bibirmu
ke telepon. lebih dekat. lebih dekat...”

3.

aku pikir di bulan-bulan ini hujan
semata air yang bergerak vertikal
ke bawah dan ke atas bergantian

mengubah halaman dan jalan-jalan
menjadi laut yang compang-camping
tidak ada pelayaran mampu sampai

tetapi dia tidak pernah berpaling
dari keyakinannya tentang hujan:
cahaya basah, matanya dan matamu
yang berair. matamu yang di hulu
matanya yang di hilir.

4.
setiap pagi dia selalu membangunkan aku
dan menceritakan mimpinya yang sama

lautan ditumbuhi bintang-bintang
dan engkau datang mengajaknya memancing
ikan berdua di langit yang baru dan lapang.

5.

sebelum berangkat tidur aku selalu menatap
matanya, bertanya tanpa berucap.

dan dia tahu jawaban untuk pertanyaan
yang berulang-ulang aku lontarkan itu

“setia adalah pekerjaan yang baik, nak!
berangkatlah…”

6.

aku menemaninya ke pantai
dia berbaring di pasir seperti kerang
yang terdampar. tubuhnya terbuka
dan angin mencium sebiji mutiara
dari dadanya yang berkilau-kilau.

katanya engkau seorang penyelam
mampu bertahan di palung-palung dalam

itulah kenapa dia selalu datang ke pantai
menunggu kapan engkau datang menghirup
bekal menyelami hidup dari jantungnya

7.
dia memasak selalu dengan rambut
wangi yang tersisir dan terikat rapi
dia selalu ingat suatu malam sebulan
sebelum aku lahir, engkau tumpahkan
sayur dan kemarahan karena menemukan
sehelai rambut terselip di daun kemangi.

dia menyajikan makanan mengenakan
senyum dan pakaian berbunga-bunga.
setiap hari. seolah engkau akan datang
membawa dirimu yang kelaparan.

dia berdoa lalu makan pelan sambil bicara
soal cuaca dan sesekali melirik ke televisi.
dia selalu mengkhawatirkan kesehatan
dan keselamatanmu.

8.
dia suka duduk di muka cermin membunuh
wajah sendiri dengan nafas yang basah
kemudian menghapusnya dengan tangan,
menggantinya dengan wajah yang lebih cantik.

aku sering berdiri di belakangnya
sehingga dia menemukan wajahku
di hadapannya sedih dan berair

dia akan berbalik, tersenyum dan berkata:
menangis adalah upaya untuk tertawa lebih lepas.
sudah, menangislah!

9.
dia melingkari setiap angka di kalender
seperti mengikat mereka agar tak tanggal
dan di akhir tahun dia menghitungnya
sebagai kekayaan. begitu caranya dia
mengajari aku menabung.

tunggulah, katanya, akan tiba waktunya
buat dicairkan dan kita berpesta sekeluarga.

10.
dia terus bernyanyi untuk menidurkan
mata dan nadinya—dan di dalam mimpi
aku menyaksikan malaikat-malaikat riang
terbang dan hinggap dari nada ke nada.

aku selalu tidur mengenakan senyum
karena mengetahui dia selalu jatuh cinta
kepada engkau.

11.
di senja saat mendengar kabar engkau mati
sepasang matanya tak berkobar bagai neraka
sebab mata, katanya, surga bagi kesedihan

sementara kesedihan adalah kebahagiaan
yang lembut dan lembab

ibu selalu meletakkan engkau
di surga itu, ayah!
2010

Puisi yang Ditulis Ibuku

jawaban akan menggapaimu nanti
mengapa waktu begitu lihai menyakiti
dan mengapa tak kutemukan titik kembali
untuk membayar semua hidupku yang pergi

mengapa aku terlalu mengangankan
keluar dari sini, terlalu menginginkan
keluar dari diriku?

aku memanggil,
aku berteriak kepadamu.
namun tak ada yang menimpal.
kini aku memanggul
kata-kataku sendiri

setiap orang bisa menuduhku
sebagai si-yang-paling-gila
sehabis engkau dikuburkan
dan cuma namamu tersisa
bagi ingatan sedikit orang.

tapi aku memiliki kenangan.
aku tidak pernah gila.
aku tahu apa yang masih kupunya lengkap
pula apa yang telah lenyap.

aku menarikmu ke lenganku
ke dalam lengangku.
namun kau tak paham
kau tak bersamaku dan selalu bersamaku.

karena selama kita hidup
seperti sungguh hidup
membawa cinta kita
ke dalam parah perih terbakar api
untuk mencairkan darah kita
saat tiba-tiba dingin-beku
atau mengeras seperti batu
agar tersusun tulang-tulang kita
lagi di tempatnya.

akan kusampaikan padamu nanti
bagaimana kabar cucu-cucumu.
mengapa aku menggerutu sepanjang hari,
menyiapkan untukmu secangkir kopi,
memandangi kursimu
dan sama sekali tak mengerti
mengapa kursi itu kosong.

satu pagi aku bersedih
dan tak tahu mengapa.
di lain pagi aku bahagia
menyadari aku masih cantik.
memiliki pinggang ramping,
sepasang lengan, bunga-bunga,
botol-botol parfum, kehangatan,
kegesitan dan janji-janji

lengan lengang akhirnya
lebih panjang dari suara tawa,
dan itu biaya bagi harapan-harapanku—
kini aku pemilik dan pemeluk tubuh
juga keyakinanku sendiri

aku masih menemukan matahari
menghangatkan airmatamu di mataku.
kau lihat, kita berbagi perih.
aku mendesakmu mendengarku,
meskipun dari kejauhan,
aku berandai-andai kau mengenali
suaraku. berandai-andai kau tahu
siapa aku, siapa diriku.

aku tak menyesali keputusan tuhan
aku telah mencuri anak kunci
untuk milikku yang telah pergi.
bahwa aku mengasuh cinta ini

sesosok malaikat, biar palsu,
terus mengaitkan dengan kematianmu,
terus menguatkan aku.
seperti fotomu yang hidup.
meskipun dia tahu
waktu adalah penipu.

aku bermimpi seperti kemarin
tentang siapa aku hari ini.
itulah mengapa sungguh susah
bagimu untuk menjawabku.
terhadap diri sendiri aku tak yakin.

suaraku akan menyentuh kupingmu, suamiku.
kau akan mendengarku, aku ada di kokleamu.
kini aku sedang menuju
dan akan sampai pada kau.
2010

Masalah Masa Lalu: Catatan dari Masa Depan Ayahku


1

sepasang belalai memanjang dari telingaku
selalu ingin mengecup semua yang kau ucap

agar kecupan melumpuhkan liar kata-katamu,
menjadikan mereka bangkai, lalu memasung
atau memasangnya di aneka ukuran bingkai.

mengapa melulu kapal-kapal yang berlepasan
dari bibirmu yang tak menyerupai dermaga itu?

tidak! layar-layar tak akan membawa kata-katamu
ke pulau manapun selain ke sepasang mata tuaku
yang rabun (yang akan bertahan hingga habis tahun)

mataku adalah laut yang akan menenggelamkan
tubuhmu dan bangkai kata-kata kelak mengganti
bunga-bunga yang ditaburkan siapapun yang masih
bersedia tangannya dinodai warna coklat sepi sedih


2

gulung awan tak jauh di atas gelung rambutmu bak kelopak
bunga yang entah mengapa berwarna tanah dan menangis

dan menciptakan ombak dengan lidah terus berbiak banyak
juga mencipratkan putih buih yang nampak tak pernah habis

itukah yang membuat sepasang rapuh tangkai tungkai tidak
mampu mempertahankan tabahmu yang semakin menipis?

maka kaki-kaki lengkung payung yang tidak memiliki telapak
memilih hendak mempertuhankan tubuhmu, aduhai, gadis!

sementara aku dingin dinding kolam yang tak bisa bergerak
meski akan melihatmu perlahan ditelan air nyaris demi nyaris


3

langit-langit mulutku dan lidahmu yang merah
tidak akan berpisah jika lollipop sebesar planet

sementara mengenang lagi lollipop dan lidahmu
sama saja berbungkuk melapangkan punggung
dan waktu menancapkan anak-anak panahnya.

sudahlah. aku tahu rasa sakit itu lembar-lembar
alat bayar agar aku bisa melumat lidah kenangan.

jika aku menyebut kalimat, “tolong kau cabut!”
kepalaku akan disambut satu topi pertanda tolol—
runcing namun hanya mampu menusuk angin.

sebab kau di planet mana gerangan sekarang?

tapi aku memang tolol meski tak pernah meminta
tolong lagi padamu. sebab tak akan aku bendung
ingatan tentang lollipop dan lidahmu yang manis
yang di punggungku kini berubah jadi rasa sakit.

sayang dinding terkelupas mengatakan kepadaku
waktu ternyata punya usia, ternyata memiliki mati.

kenangan betapa panjang sementara masa depan
sungguh-sungguh hanya seukuran juluran lidahmu.

biar, biarlah lollipop sebesar planet itu terus menjilat
merah ingatan dan punggungku dipenuhi anak panah
hingga mayat waktu dikubur dan aku tak mengingat

apa-apa lagi kecuali rasa sakit yang susah dicabut


4

kau hanya tertarik kepada bayangan yang dilekuk
lantai dan dinding, bayangan yang mau menjangkau
sepasang pigura berisi tubuh yang dilepaskan baju

sebab kau selalu berpikir begitulah masa silam, tajam
serupa capit seekor kepiting raksasa yang bisa datang
darimana dan kapan saja; siang hari atau malam haru

sementara gambar-gambar lainnya sekadar hambar
masa sekarang; setumpuk telur yang tak berisi apa,
lelaki yang terlalu rapi untuk sebuah ruang lengang,
atau meja yang telah berubah menjadi irigasi aneh
mengalirkan telur-telur kosong dan tak akan pecah

kau hanya terpantik nyala bayangan yang ditekuk,
tak bisa menjangkau sepasang aku yang telanjang
yang pucat mayat membuat pigura serupa kubur
kaca, tembus pandang seperti akuarium yang tipis

di situ aku dan masa lalu jadi hantu—kau tak bisa kabur!


5

rambutmu yang harum mengenakan bando biru-haru
dan tubuhmu lebih putih dari gaun yang membalutnya

di hadapan alat pemutar musik tarianmu habis gerak
dan burung-burung beterbangan dari lagu yang murung

semata lantai bermotif lapangan catur yang paham
mengapa kesunyian tiba-tiba lahir dari keriuhan itu

adakah telah berdatangan masa lampau di pagi hari
yang berwarna matahari senja atau lampu yang rabun?

musik tak hendak berhenti bahkan saat kau bergerak
hendak menangkap sunyi yang mengendap keluar jendela.

aku tak sedang berada di situ saat itu, hanya masa lampau.


6

tubuhmu telanjang tetapi berada di luar peti mati
yang mengangkut pikiran-pikiranmu yang mayat

(akan ada banyak mitos yang turut dimakamkan)

dari langit-langit ruangan neon jatuh dan menimpa
kepalamu namun sungguh tak ada cahaya yang pecah

seperti dua payudaramu yang mencintai anak-anak
yang entah di mana bisa kau temukan bibir tangisnya

tubuhmu telanjang tetapi berada di luar peti mati
yang mengangkut pulakah kenangan tentang aku?


7

lantai tidur kedinginan. kau lihat itu dari mata
seekor burung yang termenung di ranting
yang tangannya memegang terali jendela

maka kau hamparkan selimutmu ke tubuh
lantai. kau tidak ingin burung itu murung
dan mati. kau merindukan sayapnya
masih mengepak-ngepak besok pagi

sementara tubuhmu yang telanjang
telentang di ranjang yang menyudut
di kamar sangat berwarna abu-abu itu

kau percaya dari dalam mimpi akan ada
tangan menjulurkan doa sehangat pelukan

tanganku?


8

bagian lain dari tubuhmu hanya menumpang
di senyummu. senyum itulah yang menampung
hidup. seluruh angin yang melintas menghirup
nyawa mereka dari situ. begitu pula setiap harap
yang nyaris putus milik pejalan kaki yang melihat
kau duduk menghadap jendela

lihatlah, anak panahku yang menancap di dadamu
kecewa. ia cuma mengotori dirinya dengan darah,
padahal ia menghendaki kejernihan airmata.

dan tangga-tangga yang mendaki tubuhmu
telah menjatuhkan setiap kaki yang membawa
pemburu. siapa sesungguhnya yang kau tunggu?

aku sudah mati berkali-kali namun senyummu
selalu bisa membongkar petiku—meskipun
aku telah menguncinya dari dalam


9

di samping jendela kau duduk membiarkan
kepalamu mengepul-ngepulkan asap dari dapur
di dadamu yang selalu sibuk memasak rahasia

sore itu langit baik-baik saja.
ada banyak layang-layang yang sedang
bermain di udara. satu layang-layang
menjulurkan ekornya meminta gunting

kau malu-malu dan malah mengelus-elusnya
seolah itu rambut dan kau jatuh cinta
kepada pemiliknya

sejumlah batu di atas meja, teman-temanmu,
yang kau ajak bercakap sejak pagi terharu

tapi mereka merasa bersalah tak tahu menangis
apakah kau tak pernah mengajari mereka?


10

kamar tidur yang hanya menyisakan masa
lalu sudah kau ubah menjadi ruangan kelas
taman kanak-kanak tanpa anak-anak.

papan tulis dan huruf dari kapur warna-warni.
jendela yang dipenuhi pohon-pohon kertas
dan perahu mainan rusak tak bisa berlayar
di lantai juga kursi kayu yang tungkainya satu
telah patah dan selalu menganggap dirinya meja
di dalam sebuah dongeng yang berakhir bahagia

sampai kini kau masih saja percaya
masa kecil sama dengan masa depan

tapi bingkai besar di dinding telah dewasa,
telah merelakan masa kecilnya menghilang.

(foto pengantin aku dan kau sudah mati bukan?)

sekarang bingkai itu kosong seperti pintu
yang senantiasa terbuka—tetapi tidak ada
yang akan pulang atau datang selain hayalan.


11

kau selalu terbuka seperti stasiun.
di tubuhmu tumbuh semua jenis pelukan:
selamat jalan atau selamat datang

sebab aku meninggalkan diriku
sebanyak aku mengunjunginya

kau selalu robek seperti sehelai karcis
demi mengantar aku pergi ke manapun
kemudian kembali sekali lagi

dan kemudian tidak lagi


12

angin yang datang dari jauh itu membawa sehelai
saputangan lusuh: helai angan yang pernah kau lepaskan
mencari masa lalu yang dulu mencuri hidupmu

saputangan itu dipenuhi kupu-kupu dan ajal
mengerubungi sayap-sayap mereka yang rapuh

kupu-kupu itu menjatuhkan telur-telur bening
ke perawan payudaramu, sepasang bukit
mata air sungai susu surga

ini terakhir kali, katamu, kau tabahkan tubuhmu
menjadi kepompong. setelahnya kau ingin mati

kupu-kupu baru akan kau biarkan terbang
sejauh-jauhnya dan angin tak akan mampu
menemui dan mengembalikan mereka lagi
ke bunga-bunga yang tumbuh di makammu


13

semua perahu yang akan menyampaikan
angan-anganmu terlalu kecil dan rapuh.
laut semakin luas semenjak aku di pulau lain,
pulau yang disembunyikan di peta para pelaut

juga kain layar sudah masa lalu, hanya mainan
masa kecil angin yang kini mengampiri ajalnya

rindu, mimpi dan doa telah gagal mempertemukan
aku dan kau lagi. selain peti mati masih adakah
kendaraan lain yang kau tunggu?


14

apa yang paling menyentuh
yang mampu dimimpikan kepalamu?

“kepalaku memiliki ribuan mata lampu
jalan yang sudah berkali-kali mati tapi
tak seorangpun tega mengubur mereka.”

aku tahu. cahaya yang aku lihat bangun
saban petang itu adalah hantu-hantu,
memata-matai tungkai tiap pejalan
yang melintasi sepi mereka sendiri.

hantu-hantu itu kau kendalikan
untuk menyeret jalanku kembali
ke sisa usiamu yang menunggu


15

mata pisau atau tali mencintai lehermu. semua
yang mampu melukai jatuh cinta pada lehermu.
aku juga. tapi putih lehermu tak pernah pucat.
cinta tidak akan bisa membuatnya patah

kau percaya: cinta adalah mata air air mata.

tapi aku tak pernah melihat ada yang jatuh
dari matamu kecuali cahaya. sementara
di sini alangkah sakit aku menyakitimu


16

kau mengembalikan selimutmu menjadi bulu-bulu
di sayap angsa. lalu kau biarkan mereka berenang
di atas telaga yang telah kau siapkan di atas meja.

kau mengembalikan kertas ke dahan-dahan pohon.
lalu kau biarkan daun-daun bergembira bermain
dengan udara di luar jendela.

kau mengembalikan kepalamu ke dalam sangkar
kau redam seluruh pikiran-pikiran liar
yang bisa membuatmu menangis.

kau penyair yang mahir mengembalikan
puisi ke benda-benda. sementara kata-kata
kau lepaskan berkeliaran ke masa depan
mencari aku


17

di dalam mimpi segelap apapun di sana
selalu ada sebatang pulpen yang mampu
mencatat setiap nama atau kehidupan
bahkan kehidupan yang sudah mati

tetapi di dalam mimpimu tinta pulpen itu
hanya jatuh cinta kepada satu nama,
nama yang melukaimu: aku

akan kau apakan catatan-catatan
dengan huruf selalu dalam urutan
yang sama? bagiku itu hanya bebiji obat
yang tak akan habis dan rutin harus ditelan

sementara aku tak akan sembuh, aku sudah
terkubur di masa depan dengan rasa sakit
menahun setelah menyakitimu berkali-kali


18

bertahan sendiri bertahun-tahun di masa lalu
telah mengubahmu menjadi seorang peramal

“pada akhirnya burung-burung akan memilih
disangkarkan daripada dilepaskan ke udara.
dari beranda, di kepala atau di manapun kau
gantungkan, kicaunya akan memintal benang
yang bening untuk menambal luka di dada.”

“pada akhirnya setelah hamil berbulan-bulan
telur hanya akan melahirkan mesin-mesin
berkarat yang akan tumbuh jadi anak-anak
yang tak tahu apa-apa kecuali menyakiti.”

tetapi jari-jarimu hanya mampu menjangkau
jarak yang tak seberapa—tidak akan sampai
ke masa depan yang menyimpan aku


19

ada tiga sangkar yang selama ini kau rawat
seperti anak-anak yang menamaimu ibu

satu sangkar berisi sebatang pohon mandul
(padahal kau merindukan buah yang mampu
mengembalikanmu ke surga) dan burung-burung
yang sering menatapmu di rantingnya sekarang
senang hidup di dalam bingkai kaca di dinding

sangkar kedua berisi segumpal awan yang tidak
pernah menangis, yang melarikan diri dari langit.
dia tidak suka berada di ketinggian sejak kau
selalu menunggu ada sesuatu yang jatuh

sementara sangkar lainnya, tubuhmu,
berisi aku dan perihal lain yang tak bertemu
secelah jendela untuk kembali ke masa lalu


20

mereka tumbuh di atas kepalamu umpama buah-buah
hitam atau bola-bola plastik yang tak berisi apa-apa
selain sepi angin yang hidup di penjara, bersalah
dan dihukum tidak boleh menghirup kebebasan

kau tak bisa menceritakan rindumu dengan doa-doa.
maka kau ajak aku ke masa lalu. duduk di depanmu
sepanjang malam memetik bulatan-bulatan itu
dan mengisinya dengan kata-kata

tetapi sungguh kau cukup dengan masa lalu—
pulangku akan membuat kau pura-pura hidup

masa depan hanya kenangan. kau tahu, bukan?
tidak ada apa-apa di sana kecuali kematian
dan aku yang bukan siapa-siapa

sudahlah. seduhlah secangkir kopi agar malam
menjadi lebih panjang buat menunggu aku
yang tak tahu jalan kembali ke masa lalu

menunggu akan memanjangkan usiamu


21

kau semakin tua, kau semakin tua
namun masa lalu di kepalamu semakin muda
umpama remaja baru terluka oleh cinta pertama

masa lalu tidak membutuhkan vitamin
untuk sehat dan kosmetik untuk cantik

aku tahu untuk itulah kau membangun kincir
di kepalamu untuk menghalau masa depan
yang akan datang menghancurkannya

antara masa lalu yang kau pelihara
dan masa depan yang menyesatkan aku
ada seutas tali yang tak bisa dilalui apapun

setiap kabar atau rindu yang meniti di situ
akan jatuh dan tak sampai—tetapi mengapa
kau tak juga mengguntingnya?


22

kau sedang berulang tahun. cuma jendela
di dada dan kepalamu bersedia bersedih.
waktu dan hal-hal lain yang dipeluknya
sedang memikirkan hidup mereka sendiri

seseorang mengirim sepotong tart
untuk kau pandangi sepanjang hari
sampai basi. tetapi matamu tungku

setiap yang disentuhnya akan hidup
dan memperbaharui diri terus-menerus

dan tidak ada cahaya yang mampu
mengubah kau menjadi bayang-bayang
di dinding atau di pikiran miring siapapun

kau sedang berulang tahun. aku angka
yang hanya mampu menghitung usiamu
dari kejauhan, dari masa depan yang hanya
kenangan


23

kau sudah meluruhkan seluruh pakaian
berwarna putih pengantin yang kau kenakan
di masa lalu. sepasang bibirmu hari ini hitam
sewarna kain yang menutup mata dan tubuhmu

kau ragu menopang dadamu yang berat
seolah ada benda-benda yang akan jatuh
dari situ tetapi kau ingin menyentuhnya
sekali lagi sebelum pecah membentur lantai

tak ada, tak ada yang bergetar sama sekali.
bayanganmu melekat di dinding seperti lukisan.
angin telah berada di luar jendela sejak pagi.
tempat tidur, meja dan kursi, sangkar-sangkar
dan mahkotamu yang membentuk rupa-rupa
mimpi sudah rela menjadi penghuni museum.

tapi kau hendak ke mana dengan mata
tertutup sesungguhnya?
2009-2010 
Empat Kemungkinan Tempat Suami Ibuku Berada

1.

dia memang pergi ke negeri tetangga
dan mungkin masih berada di sana
ingin menghabiskan seluruh jatah:
usia dan ingatan tentang rumah

atau dia menunggu seseorang atau surat
datang mengajak pulang—apakah dia
lupa surat benci yang tak punya alamat?

sekarang rambut ibu yang memanjang
demi dibelai angin dan angan dibelai
mulai putih dan patah sehelai demi sehelai

tapi mengapa suaminya betah di pelarian?


2.

ibu percaya seseorang bisa tersesat,
singgah atau sengaja sembunyi
di kartu keluarga orang lain

dia tua sekarang. jalan pulang
mungkin telah terlalu panjang
bagi kaki dan keinginannya
yang semakin pendek

dan rindu, meski tak mampu dikalahkan,
bisa dialihkan ke tempat pulang berbeda


3.

apakah semua rumah sakit
bersedia menampung penderitaan?

jika dia menderita, oleh usia tua
atau rindu, mungkinkah dia
tak melupakan letak rumah sakit
seperti yang dilakukan ingatannya
kepada rumah yang sakit dia tinggalkan?

dia mungkin menumpang di situ
—sementara

atau menggelimpang di satu penjuru
penjara?


4.

padahal ibu meminta dia membawa rumah kami
di tubuhnya—dan tak seorangpun perlu menanti

sebab bahkan petualang membawa kampungnya
ke mana-mana, agar pergi dan kembali
tak perlu diterjemahkan berbeda

mungkin ia telah melihat rumah
semakin menjauh dari dirinya

dan berpikir pulang ke kampung
yang lebih dekat dari tubuhnya:
tanah

—dan ibu hanya akan berziarah
ke dalam puisi anaknya

2009

Memang Panjang Pulang Dibentang

rindu barangkali memang air mata
sedalam-dalam dipendam

di langit semalam ada wajahmu
pada bulan jadi sabit tipis
dan aku ternyata bisa menangis

ibu, aku tahu
memang panjang pulang dibentang

2003




Malin Kundang

sungai ini berhulu di matamu
airnya bening memanggilku
menjelma ikan

tapi aku batu, ibu!

2003

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kontra post, sebuah teori pembukuan usang

Puisi : Zeus di Bukit Olympus