Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2010

solusi buat PILKADA yang sering rusuh

Sebagai orang SULSEL, minggu ini merupakan minggu yang memalukan, lihat bagaimana Pemilihan Kepala Daerah di sepuluh Kabupaten berakhir dengan protes keras, bahkan di dua Kabupaten SOPPENG dan Tana Toraja berakhir ricuh dengan pembakaran, SULSEL jadi makin terkenal dengan karakter kasarnya, tidak Mahasiswa tidak pemimpin nya, dan calon pemimpinnya hobbynya ricuh dan berdebat, ujung-ujungnya kalah lalu buat rusuh, yang timbul justru kesan orang-orang SULSEL tidak dewasa dalam berpolitik. saya malu, malu, malu. BUkan hanya SULSEL yang mengalami nasib ketidakdewasaan politik ini, tapi beberapa (kalau tidak ingin dikatakan sebagian besar) wilayah Indonesia masih mengalami ini, syndrom kebebasan demokrasi, ketika kampanye mereka manampilkan wajah malaikat, berkampanye sedamai mereka bisa agar rakyat respect, menghadirkan “bidadari-bidadari” dalam wujud penyanyi dangdut, menandatangani perjanjian siap menang dan siap kalah. Kemudian hasil quick count keluar dan inilah yang terjadi. Wajah

Reformasi Perpajakan semoga bukan jalan buntu

Tulisan ini saya tulis setelah membaca sebuah coment di FB yang mengingkan agar semua “kejahatan” pajak sebelum masa modern dianggap tidak ada istilahnya “diputihkan”. Ide yang aneh menurutku tapi juga mencerminkan bagaimana Direktorat Jenderal Pajak di masa sebelum modernisasi. Buat yang belum tahu secara garis besar saya coba gambarkan. Direktorat Jenderal Pajak sebelum modernisasi ada dua kotak besar kotak PAJAK (Kantor Pelayanan Pajak) dan kotak PBB (Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan) dan sebuah kota kecil bernama KARIKPA (Kantor Pemeriksa Pajak), jadi rahasia umum bahwa “penghasilan” di pajak itu jauh lebih besar (bahkan disbanding dengangaji modernisasi sekarang katanya), di Pajak daerah yang termasuk lahan “basah” yakni PPN,PPH OP,PPH Badan,POtput (urusin restitusi pajak), dan Pelayanan (yang nerbitkan NPWP), secara garis besar di PAJAK semua lahan itu “basah” kecuali dibagian umum, dengar cerita teman karena bagian umum di pajak “kering” maka di beberapa Kantor Pajak

Soe Hok-Gie Seorang Kompasianer (Jika Dia Masih Hidup)

Sebelum saya memulai,saya tegaskan bahwa tulisan ini terinspirasi dengan tulisan Nano Riantiarno "andai Gie ada" dalam buku Soe Hok Gie sekali Lagi. Aku bukanlah orang yang kenal Soe Hok Gie (jadi aku takkan terlalu sok menyebutnya Soe,atau Hok-Gie), aku hidup di masa yang berbeda, dia aktivis 60-an, sedangkan aku kenal dunia kritis diakhir 90-an dan awal 2000an, aku tak kenal dia waktu kuliah di kampus Merah, yang penuh dengan diskusi dan demonstrasi sebagaimana kampus pada umumnya di Makassar. Aku justru mengenal dia ketika pindah jalur kesekolah kedinasan, aku justru kenal dia ketika terantuk dalam pusaran birokrasi yang dikuasai orang-orang tua yangtidak bisa kerja tapi di gaji mahal sama negara. Aku menonton Gie dan Membaca tulisannya, lalu aku merasa ada pada zamannya di mana para "orang tua" dalam lingkungan kita bukannya jadi pengayom, tapi jadi contoh buat korupsi dan kebodohan!!, dan semalam ketika membaca buku "Soe Hok Gie sekali lagi", kembal