Tax Amnesty, Lalu Apa???

sumber gambar :poskotanews.com
Akhirnya Presiden Jokowi buka suara juga tentang pentingnya RUU Tax Amnesty yang diajukan pemerintah untuk segera disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Undang-Undang Tax Amnesty sendiri sangat perlu dengan pola pikir pembangunan yang dianut pemerintah sekarang “penerimaan berbasis pengeluaran” dimana pemerintah merencanakan dahulu pengeluaran baru kemudian penerimaan, dengan pola seperti ini maka mau tidak mau pajak menjadi tulang punggung utama. Penerimaan pajak mesti optimal sehingga pengeluaran khususnya pembangunan infrastruktur dapat terus berjalan. Bagaimana jika penerimaan Negara tidak tercapai? Belajar dari tahun-tahun sebelumnya maka pemerintah biasanya akan melakukan peminjaman utang luar negeri, penjualan Surat Utang Negara (SUN) atau yang teranyar mengundang pihak luar melakukan investasi untuk kepentingan publik, sudah barang tentu semua ini akan bermuara pada deal-deal politik tertentu yang adalah bohong besar jika tidak mengurangi kedaulatan kita dalam menentukan langkah politik sebagai bangsa yang merdeka.

Tax amnesty itu apa? Dari beberapa sumber media dapat dibaca bahwa Tax Amnesty atau Undang-Undang Pengampunan Pajak ialah sebuah “tawaran” atau “jualan” Pemerintah kepada orang-orang kaya yang merupakan Warga Negara Indonesia namun sayangnya lebih memilih menyimpan uangnya di Negara tetangga (menurut Direktur Direktorat Penyuluhan,Pelayanan  Humas Direktorat Jenderal Pajak Mekar  Satria Utama dalam pernyataannya di media online bulan juni 2016 ada sekitar 3000 s.d 4000 T dana WNI di LN). Jualan yang ditawarkan pemerintah ialah jika mereka menarik kembali dananya yang berada di Luar Negeri dan atau melaporkannya maka akan dikenakan tarif tebusan yang lebih rendah daripada tarif Pajak Penghasilan pada umumnya. Hal ini  bagi pemerintah menguntungkan karena adanya dana segar yang masuk ke Indonesia, bagi Wajib Pajak menyelamatkan mereka dari keterbukaan rahasia perbankan pada tahun 2017 hal ini disebabkan karena dunia perbankan memasuki era baru yang disebut Automatic Exchange System of Information (Sistem Pertukaran Informasi Otomatis) yang menyebabkan data kerahasiaan bank dapat diakses oleh Negara manapun, sehingga dengan melaporkannya sendiri maka Wajib Pajak bisa kena tarif tebusan Pajak Penghasilan yang lebih kecil.

Lalu apakah tax amnesty akan mampu menjadi penopang kekuatan penerimaan Negara dalam bidang perpajakan? Tax amnesty hanya sebuah langkah awal strategi ini mungkin akan bisa bertahan hingga tiga hingga lima tahun ke depan namun selebihnya Direktorat Jenderal Pajak mesti menjadi sebuah otoritas yang sanggup menjadi penopang pengeluaran Negara. Ada beberapa cara yang mesti ditempuh Pemerintah jika benar-benar ingin menguatkan penerimaan Negara dari sektor pajak :

1.    Revisi Undang-Undang Perbankan
Dalam undang-undang perbankan Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan pasal 41 ayat (1) memang untuk kepentingan perpajakan , Direktorat Jenderal Pajak dapat melihat data perbankan, namun ini hanya untuk Wajib Pajak yang sedang dalam “pantauan” khusus itupun melalui permohonan berjenjang dari Direktur Jenderal Pajak ke Menteri Keuangan lalu ke pimpinan Bank Indonesia.

Menteri Keuangan dalam pernyataannya didepan petugas pemeriksa pajak tanggal 08 Maret 2016 menyatakan hanya 900.000 Orang Pribadi usahawan yang bayar pajak dengan nilai sebesar Rp. 9T. bisa kita bayangkan berapa banyak potensi yang menguap begitu saja.

Untuk mengatasi hal ini secara cepat pemerintah dan para wakil rakyat yang peduli kepada kedaulatan ekonomi Negara mesti bergerak cepat melakukan revisi, sehingga data bank seluruhnya dapat diakses oleh Direktorat Jenderal Pajak, karena dengan begitu maka Wajib Pajak yang selama ini menyembunyikan omsetnya akan segera merogoh sakunya demi penerimaan Negara.

2.    Saatnya Bermain Keras
Pajak adalah Pungutan kepada Warga Negara yang sifatnya memaksa, dan hal itu yang belum terlalu kuat didalam masyarakat kita. Tahun 2015 sebagai Tahun Pembinaan Pajak telah berlalu, sekarang mestinya Direktorat Jenderal Pajak sudah berani memproklamirkan diri sebagai Tahun Penegakan Hukum Pajak. Hal ini menjadi sangat perlu untuk melakukan shock therapy kepada Wajib Pajak nakal.

Tentunya tindakan-tindakan penegakan hukum ini melalui bukti-bukti yang jelas, dan apabila pemerintah dan anggota dewan berani melakukan tindakan revisi UU Perbankan maka tindakan hukum ini dapat semakin kuat dan luas.

3.    Membentuk Lembaga Pajak yang kuat.
Tindakan-tindakan penegakan hukum yang kuat itu jelas harus didukung dengan terbentuknya lembaga pajak yang kuat. Baik itu dari segi pengelolaan sumber daya manusia maupun teknologinya.

Dari ketiga langkah tersebut diatas disitulah kita dapat melihat dimana posisi Pemerintah, dan Wakil Rakyat, apakah berpihak pada kedaulatan Negara dari segi ekonomi atau kepada pengusaha nakal yang menguasai aliran dana untuk mengusai republik ini lewat invisible hand yang mereka punya.


Saya yakin kita mencintai bangsa ini dan ingin melihat bangsa ini menjadi bangsa yang indah dan kuat untuk kita titipkan pada anak-anak kita.

tulisan ini dimuat pada mediawarta.com, dapat dibaca juga di sini

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kontra post, sebuah teori pembukuan usang

sajak Ibu made in Aan Mansyur

Puisi : Zeus di Bukit Olympus