Marah Kepada Anak




Tulisan yang akan anda baca ini terinspirasi secara penuh dan sadar dari sebuah bagian cerita dalam buku “Si Cacing dan Kotorannya” karya Ajahn (guru) Brahm, seorang petapa dan penganut agama Buddha.

Pernahkah anda memaki lampu merah yang menghalangi anda pulang ke rumah atau ke sebuah janji penting? bahkan mungkin anda pernah juga memaki kenapa bagian yang memotong jalur anda lampu merahnya terasa lebih cepat daripada jalur yang anda lalui? Menuduh mereka yang mengatur waktu traffic light tidak becus dan membuat sejuta alibi pembenaran terhadap semua makian anda. Pertanyaannya sebenarnya apa yang anda harapkan dari sebuah lampu merah? Mengatur lalu lintas atau memperlancar perjalanan anda? Apa salah mereka yang mengatur sistem waktu traffic light? Apakah mereka orang-orang memang berniat menjahili anda atau waktu mereka menghitung kepadatan lalu lintas maka itulah hitungan waktu yang mereka peroleh?. Terlalu sering kemarahan membawa kita pada pembenaran pikiran-pikiran kita, bukan melihat sudut pandang sisi lain, makanya secara pribadi saya percaya mereka yang suka marah bukanlah orang yang bijak. 

Lalu bawalah contoh diatas kepada tiap kemarahan kita, khususnya kemarahan kita kepada kenakalan anak-anak kita. Sebagai orang tua saya pribadi tidak menyukai anak yang nakal, namun dalam hati saya juga percaya masa anak-anak adalah masa bebas dan “hak” menjadi nakal.  Seringkali dengan beban kerja menumpuk di kantor dan lelah dengan makian bos atau tingkah kawan sejawat yang tidak jelas maka anak-anak di rumah yang sudah menumpuk seharian rindunya buat kita kena imbasnya, efek dari tindakan ini ialah anak bisa merasa dirinya tak dirindukan,bahkan juga mungkin bisa menimbulkan pemikiran bahwa marah adalah cara menunjukkan kekuasaan. 

Mari berpikir menjadi anak? Bukankah bisa jadi mereka nakal dan menjengkelkan itu karena kita yang terlalu sibuk mengejar dunia sehingga melupakan mereka yang merupakan titipan surga? Mulai sekarang jika ingin marah ke anak, mulailah terlebih dulu bertanya pada diri kita, apakah marah adalah hal yang bijak? Apakah alasan-alasan kita itu bukan hanya pembenaran akan kegagalan kita mengasuh mereka?

Sulit memang, karena ketika emosi  sudah menguasai maka logika hanya aksesoris dalam kepala kita. Dan sayapun masih tertatih mencoba memulainya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kontra post, sebuah teori pembukuan usang

sajak Ibu made in Aan Mansyur

Puisi : Zeus di Bukit Olympus