Sebuah Refleksi : Pembenaran atau Kebenaran?

Syahdan, seorang pamong yang sebentar lagi digadang-gadang menduduki tampuk pimpinan tertinggi kena gerebek di sebuah hotel, bersama dua orang wanita yang memang teramat menggoda mata dan barang bukti obat terlarang.

Masyarakat heboh dibuatnya, kawan-kawan yang dekat dengan dia meyakinkan semua kenalan mereka bahwa sang pamong hanya berkunjung, dan tanpa sepengetahuannya obat-obat terlarang itu sudah ada di kamar tersebut. Hasil tes urine membuktikan bahwa sang pamong negatif menggunakan obat-obatan tersebut, dia kini duduk di tampuk pimpinan tertinggi di sebuah daerah di negeri ini.

Entah berapa banyak dari kita yang masih mengingat kejadian ini, dan entah hanya berapa banyak kita yang menduga-duga bahwa bukti-bukti itu hanya pembenaran, bukanlah sebuah kebenaran.
******

Riuh sebuah group media sosial yang saya ikuti tiba-tiba ramai, seorang guru besar Universitas Hasanuddin kena gerebek dan bersamanya ada seorang dosen , mahasiswi, dan dalam kamar itu ada obat terlarang beserta  alat penghisapnya. Semua yang ada dalam group itu mengenal sang guru besar , dia adalah dosen dan “senpai” Gojukai kami. Ingatan saya langsung menuju ke dua hal. Pertama tendangannya ke arah pinggang saya di aula FH-UH (sekarang namanya Aula Baharuddin Lopa yah?) saat posisi kuda-kuda saya kurang tegak, dan yang kedua ialah kejadian pada awal tulisan ini. Beliau adalah kawan dekat sang pamong, dan di ruang kuliah dia meyakinkan beberapa dari kami soal cerita yang sama, bahwa sang pamong hanya berada pada tempat dan waktu yang salah.

Kini, seakan dejavu dia yang mengalami kejadian yang teramat mirip, sang pengacara yang juga anak didiknya waktu kuliah mengeluarkan alibi yang sama, sang guru besar datang atas undangan si dosen, sesampai di hotel dia marah dan menghancurkan alat penghisap dan membuang obat-obatan itu, nahas bagi dia bersamaan dengan itu ada penggerebekan. Cerita yang mirip dan pembelaan yang sama “berada dalam tempat dan waktu yang salah”
*****

Sebagai orang yang tahu hukum tidaklah layak bagi kita menghukum dia, karena kita sadar kita tak ada di sana, tak tahu kejadiannya dan sejuta aspek lainnya, jadi mari menjunjung asas klasik itu “praduga tak bersalah”, dan biarkan para penegak hukum kita bekerja.

Saya hanya ingin mengingatkan hal yang selalu diulang para dosen dan (mungkin) nurani kita di ruang-ruang kuliah, bahwa fungsi dari mempelajari hukum dan menjadi aparat hukum bukanlah untuk sekedar menjadi pintar sehingga kita tak “diterkam” oleh mereka yang punya “senjata” hukum, namun juga untuk menegakkan hukum itu seadil-adilnya. Saya berharap pihak-pihak yang terlibat dalam kasus ini baik pengacara, dan aparat penegak hukum lainnya sadar bahwa ilmu hukum yang mereka peroleh bukanlah untuk mencari pembenaran, melainkan mencari kebenaran.


Salam rechtstaat and justice for all

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kontra post, sebuah teori pembukuan usang

Puisi : Zeus di Bukit Olympus

sajak Ibu made in Aan Mansyur