Negeri Milik Rakyat

Dalam imajinasiku, ada seorang anak yatim piatu yang begitu lama terkurung, lalu keajaiban zaman membuatnya terlepas, pada awalnya dia tak tahu apa-apa, orang-orang yang mengurungnya masih bisa mengendalikannya, namun tahun berlalu, dia menjadi semakin mengenal apa yang baik untuknya, sang “pengaturnya” mulai panik, dengan alasan ini pesan orang tua sang anak waktu kecil, dia diusulkan kembali dalam kurungan, dan semua pilihannya ditentukan sang wali.

*****
Dalam gambaranku,  ada sebuah negara besar, puluhan tahun terkurung dalam genggam mafia, mulai dari mereka yang awalnya baik, pandai berorasi dan meyakinkan rakyat tentang revolusi, namun takluk pada kerling mata dewi-dewi di ranjang, berusaha menyatukan tiap elemen anak bangsa namun akhirnya takluk digantikan mafia yang lainnya. Mafia yang baru, senyumnya gagah nian maklum dia sang jenderal, namun dia mentitahkan dirinya menjadi “Raja” melalui proses demokratis permusyawaratan katanya, sang Raja makin tua, dia tumbang oleh mereka yang inginkan perubahan.

Raja besar tumbang, namun para adipati raja dan para cecunguknya segera melompat menyelamatkan diri, ikut dalam gerbong perubahan, mereka menjadi raja di daerah-daerah dan sebagian besar duduk di gedung megah,katanya mewakili rakyat . Mereka tersenyum dan menikmati alam demokrasi yang masih mereka atur, masih bisa mereka perdagangkan di restoran mewah, lapangan golf, hotel berbintang lalu berbicara di media seakan-akan mereka ada bersama rakyat.

Pun masa berganti, rakyat semakin pintar, mereka mulai belajar melihat topeng, orang-orang baik bermunculan menjadi pemimpin dan puncaknya ketika bekas “pangeran” sang raja kalah oleh pilihan rakyat. Para adipati dan cecunguk panik, sadar demokrasi kini semakin ke arah yang akan menjatuhkan mereka. Raja-raja di daerah mulai dikritisi rakyatnya karena di daerah lain muncul pemimpin baik yang bukan berasal dari elit partai cecunguk. Lalu mereka bilang negeri ini adalah negeri permusyawaratan sehingga raja di daerah biar kami yang tentukan.

****

Dalam tulisannya di republika.co.id Yudi Latief menyempatkan menulis sindiran David Llyoid George “Politikus adalah kita yang tidak setuju dengannya, takkala kita setuju maka dia adalah negarawan”. Sebuah sindiran yang mungkin benar adanya, politikus itu akan memiliki sejuta kalimat alasan buat membenarkan pilihan politiknya. Mereka bilang bahwa yang duduk di gedung megah itu adalah perwakilan rakyat, tapi tahukan kalian hanya berapa dari mereka yang memang suaranya mencukupi untuk duduk di sana dan memenuhi syarat perhitungan Bilangan Pemilih Pembagi (BPP)? Sebagian besar dari mereka justru masuk senayan bukan karena suara mereka, tapi gabungan dari suara-suara caleg lain yang tidak masuk kategori bila dibagi Bilangan Pemilih Pembagi. Jadi sederhananya suara kita terhadap caleg yang tidak terpilih dialihkan ke Caleg yang suaranya lebih besar, dan pada tahap akhir justru bisa bepindah ke partai lain yang calegnya memiliki suara lebih besar . Secara logika bisakah Caleg yang terpilih dengan cara ini mengatakan bahwa dia mewakili kita? Saya menjawab tidak, karena saya tidak memilihnya, suara saya dialihkan kepadanya. Bila mengikuti logika permusyawaratan dalam pemilihan Kepala Daerah maka tidaklah tepat orang-orang tersebut memilih Kepala Daerah mengatasnamakan rakyat.

Pilkada adalah bagian dari keikutsertaan rakyat dalam menentukan “imam” mereka, dan seorang pemimpin yang bersih hanya akan lahir dari proses yang bersih. Apakah kita percaya partai cecunguk itu memiliki proses yang bersih?
Salam


@priyantarno

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kontra post, sebuah teori pembukuan usang

sajak Ibu made in Aan Mansyur

Puisi : Zeus di Bukit Olympus