Sebuah Ide : Persatuan Pegawai Negeri Sipil

Apakah kalian dengar,rakyat bernyanyi
Menyanyikan lagu penuh kemarahan
Itulah lagu dari rakyat yang tak ingin diperbudak lagi
Ketika jantung kami berdetak
Bagaikan dentuman genderang
Ada kehidupan dimulai
Saat esok hari datang
(terjemahan bebas dari OST Les Miserables)

Pada tiap bagian  dunia akan selalu ada manusia-manusia kelas pekerja, mereka adalah alas dasar terhadap kegiatan usaha suatu bangsa yang sering dilupakan.

Pada awalnya kelas pekerja di indonesia dikenal dengan sebutan buruh, dengan satu nama mereka bersatu memperjuangkan tiap orang dalam kelompoknya, menyuarakan aspirasi yang sama, menyoalkan soal ketidak adilan dan kesewenangan yang menimpa mereka kepada yang miliki kuasa dan bertindak layaknya dewa.

Herdiansyah Hamzah dalam  Antara Buruh, Pekerja dan Karyawan, menulis bahwa pada zaman orde lama istilah buruh merupakan sebutan bagi siapapun yang bekerja dengan tujuan mendapatkan upah, baik itu di sektor industri maupun di sektor pemerintahan. Melalui tulisan itu juga Herdiansyah Hamzah yang penulis kenal sebagai seorang yang sampai sekarang masih teguh dalam memperjuangkan idealismenya sejak zaman kuliah, menduga bahwa penggunaan istilah pekerja dan buruh adalah bagian dari strategi politik pecah belah yang dilakukan pemerintahan Soeharto, padahal secara prinsip mereka adalah buruh. Penulis sendiri mencoba bermasa bodoh dengan istilah itu, yang penting sekarang ialah setiap elemen pekerja pada pemerintahan kita sadar bahwa pada hakikatnya kita adalah buruh, penggunaan istilah aparat menurut penulis sadar atau tidak sadar membawa kita dalam suatu perasaan lebih tinggi daripada rakyat, hal ini menurut penulis bukanlah merupakan hal yang layak.

Berdasarkan kriteria buruh di atas, maka golongan yang bekerja pada pemerintahan (pegawai negeri) ialah bagian dari kaum buruh itu sendiri, dan terkadang nasib mereka pun tak lebih baiklah dari kaum buruh industri.

Pegawai Negeri kelas rendah, hanya bisa menjalankan perintah yang terkadang datang dari generasi-generasi tua yang hanya beruntung memiliki jabatan itu karena kedekatan dengan seseorang atau hanya karena masalah senioritas semasa, tapi tidak bisa berbuat apa-apa terhadap cepatnya tuntutan birokrasi yang modern dan efesien yang diinginkan masyarakat.

Pegawai kelas rendah ini, pada zaman sekarang memanfaatkan blog dan media sosial untuk menyuarakan aspirasinya, ada yang menulis di Kompasiana, ada yang mengamuk di Facebook, sebagai manusia yang haknya merasa terabaikan dan rasa bahwa putusan itu mengandung ketidakadilan, maka menurut saya hal itu adalah suatu kewajaran.

Beberapa pegawai akan berujar, “kan ada mekanismenya, silahkan mengajukan aspirasi ke atasan secara berjenjang”, pertanyaan penulis akan hal ini , apakah tiap pegawai telah memiliki atasan yang bijaksana dan mau mendengar kritikan? Apakah tiap pegawai memiliki mental mengetuk pintu atasan dan memohon ini itu? Tidak! Tidak semua pegawai bisa berada dalam posisi seberuntung, dan “seberani” itu mengetuk pintu atasannya, belum lagi secara fakta atasan mereka ini akan terbentur oleh keputusan-keputusan akhir para bos-bos besar mereka.

Birokrasi kita masih teramat banyak yang menganut paham “kedekatan”, hal-hal yang bersifat nasib pegawai (penempatan dan mutasi) lebih  banyak dibicarakan  dalam rapat tertutup dan surat rahasia, yang pada akhirnya membuat pegawai seperti pion semata. Di sinilah peran persatuan pegawai, untuk memperjuangkan dan mempertanyakan kebijakan-kebijakan yang hanya dibicarakan oleh para atasan tentang para pekerja tanpa melibatkan suara para pegawai, karena hal-hal seperti itu maka penulis memandang perlu adanya sebuah serikat yang memperjuangkan para pegawai negeri ini, marilah kita namakan dia Persatuan Pegawai Negeri Sipil (PPNS)

Persatuan Pegawai Negeri Sipil  (PPNS) bukanlah Korps Pegawai Republik Indonesia, yang hanya berseragam bersama saat tanggal tujuh belasan dan pada hari besar Republik lainnya, atau hanya menyumbang pegawai ketika tertimpa musibah, lebih dari itu Persatuan Pegawai memperjuangkan seluruh anggotanya dalam mempertanyakan dan memperjuangkan haknya, termasuk hak pendidikan dan hak menikmati kondisi kerja yang layak.

Kebijakan mutasi misalnya,idealnya Persatuan Pegawai berhak menyampaikan usulan kepada para pengambil kebijakan tentang pegawai-pegawai yang sudah puluhan tahun berada jauh dari keluarganya, hal ini menjadi perlu karena “mata” atasan tertinggi tak bisa melihat semuanya, tapi hanya berdasarkan laporan atau masukan yang diterima oleh atasan-atasan langsung para pegawai, pada bagian ini akan bisa timbul kesan pengambilan keputusan like and dislike semata.

Persatuan Pegawai Negeri Sipil, menjadi wadah buat menyampaikan apa yang tak tertangkap jelas oleh mata atasan tertinggi, tentu mesti dilengkapi dengan bukti dan alasan-alasan yang kuat, hingga jika usulan ini pun ditolak, ada kewajiban para atasan untuk memberikan alasan yang mampu diterima hingga bisa menjadi bahan evaluasi bagi pegawai bersangkutan.

Persatuan Pegawai Negeri Sipil juga menjadi kontrol terhadap para atasan yang tidak layak atau menyimpang dalam mengambil suatu kebijakan, ada beberapa kementerian yang memiliki sistem pelaporan terhadap hal-hal semacam ini, dengan menjaga segala kerahasiaan pelapor, namun sampai kapan kerahasiaan itu akan terjaga? Bukankah kemudian bisa menjadi ajang balas dendam. Melalui Persatuan Pegawai Negeri Sipil maka pelaporan dilakukan melalui serikat ini akan memiliki kekuatan yang lebih kuat dan lebih jauh dari konflik kepentingan.

Apakah kita membutuhkan serikat pekerja atau Persatuan Pegawai Negeri Sipil? Kalau saya , Iya.
Entah dengan anda.


“maukah kalian bergabung dalam pertempuran kamu, siapa yang siap teguh dan rela bertempur di sisiku?” (OST Les Miserables)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kontra post, sebuah teori pembukuan usang

sajak Ibu made in Aan Mansyur

Puisi : Zeus di Bukit Olympus