Mutasi, Sunyi dan Kesiapan Diri

“Seperti apa sunyi?
Dalam tegap Bambapuang, di mana kita pernah bersama kawan
menyaksikan Gunung Nona dan Sungai Saddang penuh pesona
Sudah aku mengutuk sunyi, dan kenangan itu sedikit menghiburku
Sudah aku mengutuk sunyi
Karno,Hatta dan Sjahrir pernah lebih sunyi dari ini”
********

Enrekang, sebuah kota di lembah yang dikelilingi pegunungan yang indah, salah satunya ialah Gunung Latimojong. Bukan pertama kali saya menginjak kota ini, ada kisah malam tahun baru dua ribu tiga di Gunung Bambapuang ketika idealisme masih panas di kepala.

Soal sunyi, kaki pegawai (buruh) seperti saya sering berpindah, Enrekang bukanlah kota sunyi pertama yang kudatangi, Majene adalah kota sunyi lainnya. Bagi prajurit seperti kami, yang sejak awal sudah jauh terlempar dari hiruk pikuk kerja di kota besar dengan fasilitasnya yang memudahkan untuk mendekati para pejabat pengambil keputusan hingga bisa terus berputar-putar di kota yang sama adalah hal yang selalu siap kami terima, maka mutasi dari kota kecil ke kota kecil lainnya adalah hal biasa. Sudah aku mengutuk sunyi dan ketidak adilan mendapatkan akses pendidikan yang sama!

Pegawai yang bertugas di kota seperti Enrekang dan sejenisnya (atau bahkan lebih sunyi dari itu) akan terbentur pada akses pendidikan, jangan berharap punya peluang menyaingi kolega yang kerja di kota besar, yang akses S2 saja mudah, apalagi hanya akses D3 dan S1, di kota seperti Enrekang bersyukur sajalah karena Universitas Terbuka masih ada. Sudah aku mengutuk sunyi! Karno, Hatta dan Sjahrir pernah lebih sunyi dari ini.

Melewati masa-masa sunyi karena mutasi membutuhkan seni tersendiri, apalagi jika itu kantor kecil dan teman-teman yang terbatas, syukurlah bagi saya sudah punya kenalan jauh sebelum menempati kota ini. Langkah pertama saya menghubungi mereka dan menikmati kesunyian kota ini sambil mencari tempat yang tepat untuk istrahat kala gelap. Pagi pertama saran saya jika anda berada pada posisi seperti ini ialah bangunlah shalat subuh ke mesjid, atau minimal berjalan pagilah, karena percayalah mereka yang bangun pagi adalah orang-orang yang baik. Selanjutnya jika berbaur adalah hal yang sulit kamu lakukan, maka duduklah di tepi taman atau lapangan lihatlah manusia melewati sore menjelang senja, atau jika kamu muslim, duduklah di teras mesjid lalu dengarkan riuh anak-anak mengaji. Bersyukurlah pada sunyi, di sana ada nurani yang bisa kau dengar.

Malam adalah saat terberat, bisa kau lawan dengan menonton tivi atau chatting dengan smartphone, lalu pilihlah paket murah sehingga kamu bisa bicara dengan keluarga atau kekasih yang menabur rindu di antara jarak dan waktu. Bila daerahmu adalah daerah yang susah signal, maka percayalah pada buku (jika ingin religius pilihlah Al-Qu’an dan kitab suci lainnya) sebagai temanmu, dia teman yang pendiam tapi paling riuh memacu otak dan hatimu.

Bulan demi bulan akan berlalu, lalu berganti tahun. Kesulitan karena rindu mungkin akan semakin membebani. Haruskah kita mengutuk sunyi? Atau mencaci birokrat yang merasa dirinya dewa dan hanya bisa menyuruh kita bersabar?

Jika kalian telah membaca semua penggalan kalimat di atas dan hanya ingin bilang “sabar, roda kehidupan akan berputar” tapi di satu sisi kalian tidak pernah merasa sunyi seperti ini. Percayalah aku akan menampar mulut bijak kalian!.

Salam

@priyantarno

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kontra post, sebuah teori pembukuan usang

sajak Ibu made in Aan Mansyur

Puisi : Zeus di Bukit Olympus