Kode Etik dan Tahun Politik


 “saat yang lain menawarkan neraka, partai ini menawarkan surga” sebut saja Andi, salah satu Pegawai Negeri Sipil, (simpatisan sebuah partai politik).

Sejarah mencatat hak beserikat dan berkumpul telah ada sejak 2100 tahun sebelum masehi, pada era Babylonia di bawah kepemimpinan Raja Hammuradi dan merupakan bagian hak asasi manusia yang paling klasik (Prof.Rukmana Amanwinata, SH MH). Di wilayah Indonesia (Nusantara) kegiatan berserikat telah ada  sejak tahun 1897 diawali dengan pembentukan serikat pekerja Belanda. Kegiatan  berserikat dan berkumpul telah menjadi hak tiap warga negara, sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia pasal 28 yang berbunyi “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran baik lisan dan tulisan dan sebagainya yang ditetapkan oleh Undang-Undang”. Pasal ini membuat tiap warga negara termasuk pegawai negeri sipil memiliki hak buat berserikat, sehingga menurut saya adalah hal yang wajar bila suatu saat nanti kementerian atau lembaga negara memiliki serikat pekerja sebagai sarana buat menampung aspirasi para pegawainya bukan hanya bergabung dalam korps pegawai yang  terbatas pada kesamaan seragam saat upacara agustusan dan “hari suci” republik lainnya. Namun demikian sebagaimana kita mafhumi bersama bahwa tiap kebebasan pastilah akan memiliki batasan, kebebasan berkumpul dan berserikat warga negara dibatasi selama kegiatan berserikat dan berkumpul itu bukan merupakan kegiatan makar, bagi pegawai negeri sipil kebebasan ini dibatasi dalam rambu-rambu kode etik, salah satu kode etiknya seorang pegawai negeri tidak bisa berserikat dan berkumpul bila itu berhubungan dengan partai politik.

Kode etik pegawai negeri dalam Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam PMK No.1/PM.3/2007 tentang Kode Etik Pegawai Negeri Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia, pada pasal 4 tentang larangan pegawai pada angka 2 tertulis “Setiap pegawai dilarang menjadi anggota aktif atau simpatisan aktif partai politik”.  Hal ini dapat diartikan bahwa seorang aparat pajak bisa berserikat dan berkumpul asalkan itu tidak ada hubungannya dengan partai politik, hal ini sangatlah penting karena aktif atau menjadi simpatisan politik bagi seorang pegawai bisa membuatnya menjadi tidak netral baik dalam hal pelayanan publik maupun pengambilan kebijakan.

Tahun 2014, adalah tahun politik, facebook, twitter, path dan jejaring sosial lain menjadi alat kampanye, mulai dari para caleg sendiri hingga para simpatisan partai. Pegawai Negeri Sipil jelas tak bisa menghindar dari serangan kampanye ini, Pegawai Negeri Sipil khususnya Pegawai Direktorat Jenderal Pajak harus berhati-hati dan saling mengingatkan tentang kode etik sebagai Pegawai Direktorat Jenderal Pajak agar jangan sampai justru terjebak dan menjadi simpatisan aktif atau malah menjadi anggota aktif partai politik.

Menurut kamus besar bahasa indonesia simpatisan bermakna orang yang bersimpati (pada partai politik), sedangkan aktif bermakna giat dalam berusaha, sehingga bisa ditarik kesimpulan makna simpatisan aktif ialah seorang yang bersimpati kepada partai politik dan giat menunjukkan dukungannya pada partai politik tersebut.

Akses media sosial pada kehidupan kita adalah hal yang tidak dapat dielakkan, mulai dari komputer sampai dengan telepon genggam bisa mengakses media sosial, sebagai aparat negara jelas butuh tindakan bijak dan berhati-hati. Menurut saya, seorang pegawai yang menggunakan waktu kerja (dan atau fasilitas kantor) untuk menunjukkan dukungannya kepada partai politik adalah hal yang dapat dikategorikan  sebagai simpatisan partai politik.

Seorang pegawai yang dengan jelas menggunakan status pada media sosialnya secara  sering untuk mendukung dan mengkampanyekan sebuah partai politik, menurut saya dapatlah dikategorikan sebagai pelanggaran kode etik, karena jika sebuah status  dan atau tulisan yang mendukung sebuah partai politik tertentu melebihi batasan wajar (menurut saya jika mencapai angka puluhan) maka itu dapatlah dikategorikan sebagai tindakan aktif,bisa saja kita berkilah bahwa kehidupan di sosial media adalah kehidupan pribadi, namun jika ingin jujur pada akhirnya akan ada kesadaran bahwa status kita sebagai aparat negara dan pribadi adalah dua hal yang sulit dipisahkan.

Hati-hatilah ini tahun politik, terlalu banyak  pencitraan dan janji yang dijual di ruang publik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kontra post, sebuah teori pembukuan usang

sajak Ibu made in Aan Mansyur

Puisi : Zeus di Bukit Olympus