MK : Malin kundang Konstitusi

Seorang yang pernah mengajarkan saya Pengantar Ilmu Hukum pernah bercerita tentang kisah seorang hakim di Jepang. Seorang hakim sedang berjalan kaki menuju gedung pengadilan ketika hujan deras tiba-tiba mengguyur, lalu seseorang menghampirinya dengan menggunakan payung. Sang hakim lalu menghindar dan menolak bantuan ini, dia berujar “ saya adalah seorang hakim saya takut kelak jika anda berperkara, hal ini akan saya ingat dan mempengaruhi kejernihan saya dalam mengambil keputusan".
......

Dalam sebuah kisah lain, ada sebuah kisah dari dari tanah Sumatera, tentang seorang anak yang dibesarkan dengan kasih sayang, anak tersebut lalu memutuskan merantau demi kehidupan yang lebih baik, namun sepulang dari merantau sang anak tak mengenal lagi sang ibu, dia menjadi anak yang durhaka. Kisah ini lebih kita kenal dengan Malin Kundang.
......

Dua cerita di atas bisa jadi adalah sebuah legenda semata, suatu hal yang tidak bisa kita buktikan kebenaran ceritanya, namun bagi saya sejak kasus Mahkamah Konstitusi merebak, kedua kisah itu mengingatkan saya pada lembaga ini.

Sebagaimana kita ketahui bersama sejak tertangkapnya ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mukhtar dalam perkara suap pengurusan sengketa Pemilihan Kepala Daerah, Mahkamah Konstitusi langsung jatuh pada titik terendah sejak lembaga ini dibentuk. Oleh karena itu Pemerintah Republik Indonesia merasa perlu menjaga dan mengembalikan kembali “nama baik” Mahkamah Konstitusi melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No.1 Tahun 2013 yang kemudian disambut dan didukung oleh Dewan Perwakilan Rakyat hingga menjadi UU Nomor 04 tahun 2014.

Pada dasarnya undang-undang ini sangatlah baik,menurut penulis di dalam undang-undang ini ada beberapa poin positif, yakni adanya aturan yang jelas bahwa seorang yang dicalonkan menjadi hakim Mahkamah Konstitusi sekurang-kurangnya sudah tujuh tahun melepaskan segala jabatan dan hubungannya dengan partai politik.

Namun, seperti ingin menunjukkan “kuasanya” para hakim Mahkamah Konstitusi ini, melalui putusan MK Nomor 1-2/PUU-XII/2014 justru mengubah ketentuan yang postif diatas dengan pertimbangan yang sangat aneh.

Keinginan masyarakat agar hakim Mahkamah Konstitusi bukanlah dari partai politik, ditolak oleh para hakim Mahkamah Konstitusi dengan alasan bahwa adalah keliru  mengatakan parpol adalah sebuah lembaga yang korup, sehingga orang-orang di dalamnya tidak bisa mencalonkan diri menjadi hakim Mahkamah Konstitusi. Penolakan dengan logika seperti inilah yang membuat penulis teringat pada cerita pertama yang penulis ungkap di atas. Seorang hakim mestilah seorang yang mampu mengambil putusan seobjektif dan sejernih mungkin. Bagaimana kita bisa mencoba berpikir positif jika hakim Mahkamah Konstitusi yang mengadili sengketa pemilihan kepala daerah, yang salah satu pihaknya pernah menjadi rekan separtai para hakim?, akankah kita masih bisa berpikir para hakim masih bisa mengambil keputusan yang jernih?

Hal lain yang perlu dicermati dari keputusan MK yang menganulir poin penting dalam UU No.04 tahun 2014, ialah pada pihak penggugat UU No.04 tahun 2014 ini, menurut Kompas, edisi sabtu 15 Februari 2014, gugatan ini diajukan oleh Andi M Asrun (advokat) yang juga pernah menggugat tentang usia pensiun panitera Mahkamah Konstitusi dan usia batas maksimal bagi calon Hakim Konstitusi, semua gugatan yang secara kasat mata menguntungkan pihak-pihak “dalam” Mahkamah Konstitusi ini dikabulkan oleh pada hakim Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi adalah lembaga yang lahir dari semangat reformasi, bertujuan untuk melindungi masyarakat dari peraturan yang dibuat oleh pemerintah maupun wakil rakyat yang dapat merugikan hak sebagai warga negara, oleh karena itu kehadiran Mahkamah Konstitusi sangatlah dibutuhkan dalam kehidupan bernegara, namun di lain pihak semestinya tak eloklah rasanya Mahkamah Konstitusi mengadili perkara yang berhubung dengan mereka, karena sekontroversial-kontroversialnya Howard Webb sebagai seorang wasit, tak pernah dia menggunakan seragam Manchester United dalam lapangan. Mahkamah Konstitusi adalah wasit , dan wasit tak wajar ikut bermain.

Dengan beberapa keputusan Mahkamah Konstitusi yang sangat mengundang pertanyaan publik ini, menurut penulis Mahkamah Konstitusi telah mulai menjelma menjadi sosok “Malin Kundang”, yang tidak lagi mengambil keputusan objektif demi rakyat, tapi lebih kepada keputusan demi kepentingan, jika ini terus terjadi maka Pemilihan Umum tahun 2014, akan melegitimasi Mahkamah Konstitusi menjadi “batu”, dalam artian bahwa keputusan-keputusannya akan dianggap bisu oleh rakyat dan justru menjadi alat buat rakyat saling “lempar” (baca: alat buat bertikai) antar rakyat versus rakyat yang berbeda warna politik.

Semoga ibu pertiwi tak mengeluarkan kutukannya bagi bangsa ini.

Salam

@priyantarno

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kontra post, sebuah teori pembukuan usang

sajak Ibu made in Aan Mansyur

Puisi : Zeus di Bukit Olympus