Catatan Kecil Tentang Liburan Kemarin



Bagaimana liburanmu?
Liburan ini kuawali dengan senyum dua anakku. 

Sebuah sms ucapan mat natal kukirim ke beberapa kenalan yang merayakan, “karena kasih melintasi segalanya, selamat natal”, kutulis hal serupa di sebuah group whatsapp, dan sebuah pesan masuk, sebuah ceramah tentang bahaya ucapan natal dan sifatnya sama dengan mengucap dua kalimat syahadat. Ucapan yang panjang itu hanya kujawab dengan kalimat “saya mengikuti  Qurasih Shihab, Dien Syamsuddin, dan KH Abdurrahman Wahid”, lalu dibalasnya bahwa Islam yang benar ialah yang berkiblat di Arab Saudi, bukan di Jawa Timur, pada titik ini saya merasa dia menyerang Nahdatul Ulama yang memang besar di sana, tapi semoga saya salah. Dia juga melanjutkan bahwa dia bersyukur sekarang banyak yang sadar akan itu, dengan bangganya dia mengutarakan kalau bahwa sekarang banyak yang sadar , “lihat tidak ada yang mengucapkan selamat natal di group, kecuali kamu” ujarnya, dan dia memang benar, karena itu saya sedih.

Saya langsung teringat novel Kite Runner, dalam sebuah adegan bagaimana ayah sang tokoh utama, khawatir jika mereka yang “berjanggut panjang itu” menguasai Negara, lalu terlihatlah di hadapan saya gambaran tentang Afganistan, peperangan, pembunuhan dan penindasan terhadap kaum minoritas, penghancuran terhadap benda-benda bersejarah oleh mereka yang merasa memiliki penafsiran paling benar, semoga Indonesia jauh dari kekuasaan orang-orang seperti itu.

Saya sedih bukan karena ucapan natal atau tidak, saya yakin jika diucapkan atau tidak para teman-teman kristiani kita takkan berkurang bahagianya, saya sedih karena ketidakpedulian kita atas sesama, merasa paling benar dan memilih diam daripada mencari jalan melawan mereka yang merasa paling benar.

Tumbuh dalam keluarga yang demokratis dan hidup dalam alam bebas membaca buku apa saja adalah anugerah sendiri bagi saya. Sejak kecil saya bertetangga dengan keluarga kristiani, saya biasa datang ke rumahnya saat natalan, begitupun dia jika lebaran, tidak ada yang menyalahkan saya saat itu.

“mengucapkan natal sama dengan mengakui agama Nasrani, dan kebenaran ajaran agama mereka” , saya memutuskan tidak meperpanjang debat, teman saya ini sudah bilang tidak ingin berdebat tapi terus mengirim pesan bernada ceramah kepada saya. Ayah saya selalu berdalil sederhana “Allah itu maha tahu maha pengertian, dan segala sesuatu dilihat Allah termasuk isi hati, makanya setiap sesuatu dilihat dari niatnya”. Ucapan natal bagi saya mengakui adanya agama Nasrani, menghormati mereka sebagai saudara dari segi kemanusiaan, Al-Qur’an sendiri mengakui adanya agama Nasrani, apa hak kita tidak mengakui adanya agama itu, soal mengakui kebenaran? Itu kembalikan ke niat, saya mengucapkan natal karena saya turut berbahagia atas kebahagiaan teman-teman,  bukan mengakui kebenaran, karena kebenaran ada hakikatnya hanya Allah yang maha tahu, kita hanya menafsirkan. Jika mengucapkan natal jadi dalil kalian menganggap saya mengakui kebenaran ajaran Nasrani, maka luar biasa kalian, menghakimi niat saya.

“Semoga kita tetap saudara, sahabat, terima kasih  atas pandangannya”, saya ingin mengakhiri saja, namun ternyata teman saya masih lanjut mengingatkan MUI itu tidak layak dijadikan patokan, kembali dia ingatkan untuk berpatokan pada ulama-ulama Arab Saudi, karena di sana ada Mekkah, yang menjadi kiblat umat Islam, dan saudara ialah sejati ialah saudara dalam berkeyakinan yang lebih erat daripada saudara kandung itu sendiri. Saya memilih diam, lalu dia mengakhiri dengan kalimat maaf jika ada kata-kata yang kasar. Soal masalah persaudaraan, saya selalu beranggapan bahwa persaudaraan itu terbentuk karena sisi kemanusiaan, saya menolak jenis persaudaraan yang tersekat dalam kotak-kotak yang ada.

Kesedihan saya buang dengan bermain dengan anak-anak saya, semoga saya bisa membentuk mereka jadi orang-orang yang berpikir merdeka, buka orang-orang yang merasa paling benar.

Sore hari saya melanjutkan istirahat di sebuah rumah kecil, tempat keluarga besar istri biasa ngumpul,ditemani bakwan dan teh susu hangat serta amuk hujan desember,  saya bertemu dengan artikel-artikel hebat, pertarungan tulisan melawan tulisan tentang masalah penempatan, saya angkat topi buat pada junior-junior ini, saya langsung sumrigah, ternyata masih banyak yang kritis, masih banyak yang mau belajar dan terbuka sama pandangan orang lain di instansi ini.

Tulisan pertama ditulis oleh Gita Wiryawan, dengan judul Als Ik Eens , lewat tulisan ini bung Gita pada awalnya membayangkan jika dia tugas di Jakarta, namun dia kemudian mengecam sifat mereka yang memamerkan cara mereka keluar dari kepenatan, apakah mereka tidak membayangkan perasaan teman-teman yang lain yang bahkan untuk pulang ketemu keluarga susah, yang kepenatan bukan hanya di kantor, tapi juga di luar kantor. Agaknya tulisan ini yang membuat Farchan Noor Rachman dalam tulisan Refleksi 5 Tahun Jadi Pegawai memohon maaf jika dulu biasa pamer tiket promo.

Tulisan itu kemudian direspon oleh Andreas Rossi, anda harus baca cerpennya di birokrasi sangat indah dan mengagumkan, lewat tulisannya berjudul Sepatah Dua Patah Kata yang Tidak Penting , Andreas berusaha bijak dan menenangkan Gita, bahkan dia berjanji jika memang ada yang salah dengan penempatan ini, maka dia akan menemani Gita memberontak. 

Tulisan Gita juga direspon juga oleh Heru Irfanto melalui Sebuah Erata , dalam tulisan itu, Heru meminta Gita berhenti dengan berandai-andainya,dia menegur Gita, melalui tulisan tidak membuat semuanya menjadi lebih baik, bahkan bisa jadi menambah perih luka sendiri, ujarnya. Hidup bukanlah karnaval untuk memamerkan kesedihan, lanjutnya.

Gita memiliki sepertinya memiliki sifat pemberontak, dia tak mau mendengar ceramah itu begitu saja,  Gita menyambut tulisan Heru dengan tulisan Sedikit Tanggapan Buat Heru Irfanto , melalui tulisan ini Gita kecewa pada generalisasi orang pusat terhadap orang  daerah, dan sepuluh tahun kerja di instansi ini, saya sadar itu benar. 

Kemudian muncul sebuah tulisan Seteguk Bir dan Susu Kedelai oleh Fauzi Atma, tulisan ini lebih dari ceramah kepada Gita, sebagaimana yang dilakukan Heru, ini lebih kepada marah dan menghakimi. Fauzi mengingatkan Gita, mereka yang penempatan Jakarta,ialah mereka yang telah "menyiksa" dirinya ketika kuliah sehingga mereka layak mendapat nikmat "surga" setelahnya, dia menyinggung Gita, tentang apa yang kau lakukan semasa kuliah.

Gita sepertinya marah, namun itulah hebatnya tulisan, melalui tulisan marah itupun terlihat lebih anggun melalui tulisan Dadu , Gita" membalas" dengan mengatakan saya tidak iri pada rezeki orang lain, tapi jika mereka meludah  dengan tatapan menghina pada saya, itu adalah masalah yang sama sekali berbeda. Gita pada akhirnya dengan geram "menantang" , dan dia mengingatkan jika dia selalu siap jika ada orang yang ingin dijatuhkan. Sebelumnya pastikan beli buku motivasi banyak-banyak untuk menemani kejatuhanmu, tutupnya. 

Terakhir saya kutip sebuah ucapan bijak “buku yang sempurna ialah buku yang tak pernah ditulis”, termasuk buku yang ditulis para professor ahli agama, ulama dan lainnya. Buku saja tak sempurna  apalagi sekedar tulisan pada blog, tidak ada yang sempurna dan tidak ada yang berhak mengklaim paling benar, termasuk juga tulisan ini. Sebuah tulisan yang hanya ditulis oleh orang yang lingkar perutnya lebih besar dari lingkar otaknya.

Salam
@priyantarno

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kontra post, sebuah teori pembukuan usang

sajak Ibu made in Aan Mansyur

Puisi : Zeus di Bukit Olympus