10 Tahun, Sebuah Perjalanan Abdi Negara

Farchan Noor Rachman menulis tentang lima tahun perjalanan hidupnya jadi abdi negara, ada senyum ketika membacanya (di sini), karena ada beberapa kisah yang nyaris sama. Tergelitik perasaan itu kuputuskan buat menulis ini, bukan untuk pamer, mencela, atau mengkritik, hanya sebuah sudut pandang dari perjalanan 10 tahunku di direktorat ini.

Saya diterima di Prodip 1 Keuangan STAN tahun 2003 dan tamat juga tahun 2003, kuliah setahun dipadatkan jadi setengah tahun. Jam  setengah delapan pagi sampai dengan jam lima sore mendengar begitu banyak celoteh, kadang sabtu mesti masuk juga, istilah sekarang kami ini jadi generasi kurang piknik.

Masuk Prodip 1 STAN bukan mimpiku, tapi kadang perahu mesti mengikuti angin,mengubah haluan demi sesuatu yang lebih aman. Saya sempat kuliah di Fakultas Hukum UNHAS, suatu hal yang saya dambakan sejak SMU, belajar hukum sama seorang ahli hukum sekelas Prof Achmad Ali. Saya masih ingat saat saya diterima di sana, saya berteriak keras seperti seorang pemain bola yang baru saja mencetak gol penentu kemenangan dalam sebuah partai final, di masa injury time tambahan waktu babak kedua. Saat itu saya menerima telepon dari teman SMU, Irzan Azis, yang juga lulus di Teknik Perkapalan, saking girangnya saya saya lupa tanya lulus di mana? soal fakultas , saya tahu pasti hukum hanya itu pilihan saya saat UMPTN, yang saya lupa tanyakan, Fakultas Hukum UNHAS dan Fakultas Hukum UNIBRAW, Malang? syukurlah saya lulus di UNHAS. Pada tahun yang sama saya tidak lulus Prodip 1 STAN, namun saya tidak kecewa. Kemudian demi membahagiakan Ayah, saya coba yang kedua kali, dan saya lulus di Prodip 1 Perpajakan STAN.

Saya lulus bersama teman Fakultas Hukum juga, Muhammad Tawakkal (kini bertugas di KPP Pratama Kupang), pada awalnya agak bimbang mengubah jalan, tapi saya anak pertama, saat Tawakkal datang ke rumah membawa kabar saya lulus, yang senangnya bukan kepalang adalah Ayah saya. Ayah saya alumni STAN angkatan kedua (setelah berubah nama dari IIK) kalau tidak salah tahun 1978-1979, seingatku seangkatan sama Suyono Salamun, tapi jangan pikir saya lewat jalur tidak sah itu yah, masuk STAN itu murni, kalaupun ada yang pakai jalan culas, maka jalannya hanya lewat “joki”. Bimbang jelas ada, tapi saya sangat menghormati Ayah saya, walaupun sering berdebat tapi dia adalah orang yang demokratis menghargai pilihan-pilihan anaknya, saya memutuskan masuk STAN sebagai dedikasi saya buat beliau.

Penempatan pertama saya adalah sebuah kota yang dulu masih jadi wilayah Sulawesi Selatan (sekarang bagian Sulawesi Barat), Majene tepatnya, saya bertugas di Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Majene. Saya ingat saat saya meninggalkan Makassar untuk ke Majene, di antar ke terminal regional Daya oleh dua orang sahabat saya di FH-UNHAS, Ayatullah dan Irmansyah, serta Ayah dan Ibu yang tak berhenti menangis dan menyalahkan Ayah karena tidak berbuat apa-apa. Saya sendiri terima-terima saja penempatan di sana, karena memang peringkat tidak bagus-bagus amat, walaupun agak kecewa karena ada yang peringkatnya jauh tapi dapatnya kota Makassar, tapi ah sudahlah, rezeki Allah tidak tertukar.

Ternyata untuk ke Majene, saat itu jarang sekali angkutan yang langsung ke tujuan, jadi saya mesti naik “panther”¹, ke Wonomulyo,Polewali Mandar dulu, baru kemudian melanjutkan dengan naik “pete²” ke Majene. Saya menikmati semua itu, saya pernah sekolah di pesantren jadi hidup terpisah dengan ayah dan ibu bukan hal yang baru.

Perjalanan darat tujuh jam saya tempuh, sesampainya di terminal Majene, saya langsung naik becak dan diantar ke Kantor Pajak Bumi dan Bangunan Majene. Saya ingat hari itu hari Jumat, orang yang pertama saya temui Hepy Cahyo Setiawan dan Kak Rachman, kemudian menghadap ke Kepala Sub Bagian Umum Pak Agus Salim (sekarang Kepala KPP Pratama Bantaeng), lalu ketemu sama Kepala Seksi Pendataan dan Penilaian Pak Media Oloan Silaban, pada beliau kelak saya banyak belajar .Saya sendiri kemudian ditugaskan di Seksi Penagihan, kepala seksi pertama saya Bu Hera.
foto bulan2 pertama tugas di majene

Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KP-PBB) Majene saat itu wilayah kerjanya Majene, Polewali Mandar, Mamasa, Mamuju, banyak kenangan di situ, dari hidup dengan kawan-kawan yang seperti keluarga, kalau stres ke pantai Barane , berenang dan teriak-teriak sampai stres hilang, atau bermain football manager sampai subuh di akhir pekan, kalau semua itu tak efektif maka buku adalah hiburan saya, melalui membaca dan kadang menulis saya menganggap hidup di Majene layaknya hidupnya Soekarno,Hatta, atau Sutan Sjahrir di pengasingan.

Pengalaman tugas di sana banyak, mulai dari menginap di wilayah yang kalau malam listrik mati, sampai naik gunung di Kabupaten Mamasa, dengan jalanan yang tak layak dilalui oleh kendaraan bermotor. Ada satu kenangan yang tak saya lupa yakni waktu nyaris meninggal.Saya pernah kecelakaan motor, ban motor saya sudah ada di bibir jurang, dan saya terlempar, syukurnya saya terlempar mengikuti arah jalan bukan terjun ke jurang, lengan saya sobek sampai sekarang bekas jahitannya masih ada, teman saya saat itu Pajarno,dia berada di motor yang berbeda tepat dibelakang saya,dia yang membawa saya ke puskesmas terdekat. Waktu itu  kami dalam perjalanan tugas ke Mamuju buat melakukan pendataan.

Masa modernisasi Direktorat Jenderal Pajak kemudian bergulir, sebagai generasi muda saat itu ekspetasi saya begitu tinggi. Saat itu ada mapping, saya sungguh berharap hasil mapping itu akan menjadi pintu profesionalisme, orang-orang akan menempati posisi sesuai kemampuannya, bahkan saya berharap yang tidak layak jadi kepala seksi atau kepala kantor bisa diturunkan saja, toh pikir saya mereka tidak rugi karena pendapatan mereka tetap naik, tapi saya ternyata terlalu berharap lebih.

Saya kemudian mutasi ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Parepare,  saya agaknya kurang beruntung, Kepala Kantor saat itu sangat tidak suka dengan para eks KP-PBB, bagi beliau, kami hanya penumpang gelap. Saya lalu ditempatkan di Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) Pinrang, saya ingat  baru seminggu saya di sana bertugas, beliau singgah dan melakukan test soal pajak ke saya. Saya diomeli dan dianggap tidak layak kerja di pajak, karena itu pula saya ngebut belajar, minggu depannya saya ketemu lagi saat antar berkas KP2KP ke KPP Pratama, beliau melakukan test yang sama, pertanyaan yang agak sama, saya jawab ,lalu beliau bilang begitu seharusnya mesti cepat belajar.

Direktorat Jenderal Pajak banyak memberikan saya pelajaran, saya mencintai direktorat ini, namun kekurangan jelaslah ada di sana sini. Saya masih ingat bangganya kita dengan Sistem Informasi Kepegawaian,Keuangan, dan Aktiva (SIKKA), itu akan menjadi basis data kita, kita bisa melihat aset direktorat ini secara lengkap,mengetahui transaksi keuangannya secara rinci, hingga bisa memonitor pegawainya. Saya justru berharap SIKKA ini bisa memonitor pegawai mana saja yang belum sempat menginjak homebase selama  bertugas, namun seperti halnya mapping, harapan saya masih terlalu tinggi, tapi tak apalah saya berharap kecintaan saya pada direktorat ini tak bertepuk sebelah tangan, saya berharap mereka yang berdiam di “olympus”, tidak sekedar melihat kami sebagai angka-angka kinerja, tapi memperhatikan kebutuhan kami, hingga apa yang ditulis rekan sejawat Farchan Noor Rachman bahwa pada akhirnya kami sadar bahwa kami adalah buruh yang menyerah pada kapitalisme penguasa, tidak dirasakan lagi oleh generasi-generasi yang baru menginjakkan kakinya di Direktorat Jenderal Pajak.

Salam
@priyantarno

Catatan :
¹ panther : istilah jenis angkutan antar kota di wilayah sulawesi selatan, pada awalnya karena merupakan merk mobil tersebut yakni isuzu panther.
² petepete : angkutan kota

Komentar

  1. Quote: "Masa modernisasi Direktorat Jenderal Pajak kemudian bergulir, sebagai generasi muda saat itu ekspetasi saya begitu tinggi. Saat itu ada mapping, saya sungguh berharap hasil mapping itu akan menjadi pintu profesionalisme, orang-orang akan menempati posisi sesuai kemampuannya, bahkan saya berharap yang tidak layak jadi kepala seksi atau kepala kantor bisa diturunkan saja, toh pikir saya mereka tidak rugi karena pendapatan mereka tetap naik, tapi saya ternyata terlalu berharap lebih."

    Kadang harapan kita tak sesuai dengan yang diberikan, tapi apa yang kita pinta, pasti Tuhan tau yang lebih baik dari yang kita inginkan. Mungkin kalo itu terjadi angkatan berikutnya gak bisa belajar mana pimpinan yang patut dicontoh dan mana yang tidak, hehehe...

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya ru, setidaknya generasi belajar mana yang tidak layak di contoh, jadi jika generasi mu ada di "olimpus" kelak ingatkan dia jangan jadi dewa saja.
      btw, selamat mempersiapkan hari pernikahan bro :)

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

kontra post, sebuah teori pembukuan usang

sajak Ibu made in Aan Mansyur

Puisi : Zeus di Bukit Olympus