MEMBANGUN KECINTAAN FISKUS TERHADAP PAJAK


Bismillahirrahmanirrahiim
Pesan yang pertama akan ditangkap dari judul ini adalah judul yang aneh, mana ada Fiskus (pegawai pajak) yang tidak cinta kepada Pajak, secara teori mereka cinta karena mereka hidup dari situ, menghidupi keluarga dari situ.
Mari kita mulai tulisan ini dengan pembahasan yang  indah apa itu cinta? Cinta menurut KBBI bermakna suka sekali, sayang sekali, menurut wikipedia cinta ialah sebuah emosi dari kasih sayang yang kuat dan ketertarikan pribadi. Dalam konteks filosofi cinta merupakan sifat baik yang mewarisi semua kebaikan, perasaan belas kasih dan kasih sayang. Pendapat lainnya, cinta adalah sebuah aksi/kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apapun yang diinginkan objek tersebut.
Apakah kita secinta itu kepada Direktorat Jenderal Pajak tempat kita bekerja buat keluarga kita? Ataukah kita hanya sekedar butuh kepada Direktorat Jenderal Pajak? Mari kita telaah perasaan kita itu bersama, dengan beberapa Poin.
1.    Apakah kita suka sekali dengan pekerjaan kita sebagai Fiskus? Semoga semua pegawai yang membaca ini menjawab iya.
2.    Apakah kita bersedia mengorbankan apapun , diri, perhatian dan kasih serta mengikuti dan patuh kepada Direktorat Jenderal Pajak, sebagai bentuk kecintaan kita kepada Pajak? Karena sebagai fiskus adalah hal yang aneh mencintai Pajak tapi menolak patuh kepada kepada lembaganya. Semoga pertanyaan kedua ini banyak yang menjawab iya.
Lalu telusuri fakta dilapangan, berapa dari kita yang “bersusah payah” (baca : bisa jadi menghalalkan segala cara) untuk ditempatkan ditempat yang sesuai keinginannya, dengan alasan yang beragam, misalnya jauh dari keluarga, berapa dari kita yang beranggapan keluarga dulu baru pekerjaan? Kecintaan itu total, kecintaan itu seratus persen, cintai keluargamu seratus persen dan pekerjaanmu seratus persen. Sulit, tidak mungkin? bukankah dimasa remaja anda semua bilang cinta diatas apa saja, jadi mengapa tidak, tapi jelas Direktorat Jenderal Pajak mesti bisa berlaku adil dalam hal semacam ini, istilah tidak formalnya “jangan mengecewakan para pecinta”
Berapa dari kita yang masih kurang puas dengan pendapatan kita, sehingga dengan alasan kebutuhan diri, anak dan keluarga mencari “pendapatan” lain yang merusak nama Direktorat Jenderal Pajak? Tidak anda tidak mencintai Direktorat Jenderal Pajak jika anda merusak nama Direktorat Jenderal Pajak dengan perbuatan tercela anda.
Lalu, bagaimana membangun kecintaan kita kepada Pajak, sebagai fiskus, satu hal yang pasti yakinkan diri anda bahwa pekerjaan yang kita lakukan ini ialah pekerjaan untuk kebaikan manusia, pekerjaan yang “direstui”  dan sifatnya wajib dari agama kita masing-masing.
Saya ambil dari sebuah tulisan seorang bernama Wiyoso Hadi seorang fiskus yang saya gemari tulisan-tulisannya di Jejaring sosial¹, dalam agama Hindu Pajak tercantum jelas dalam kitab Manawa Dharma Sastra bagian yang membahas catur varna (kewajiban empat golongan) yang intinya ialah diwajibkan setiap golongan untuk membayar pajak untuk keadilan dan pemerataan sosial. Berdasarkan ini maka secara logika para fiskus ialah orang-orang yang menjalankan kewajiban agama.
Dalam Agama Buddha, sabda sang Budha Gotama dalam kitab Anguttara Nikaya yang pada dasarnya mengatakan bahwa harta dan kekayaan yang dikumpulkan secara sah dan tanpa kekerasan dapat membuat orang lain bahagia dengan cara membayar pajak dan memberikan persembahan kepada orang suci untuk mengumpulkan pahala. Amboi ini indah benar disini fiskus disejajarkan sebagai orang suci yang mengumpulkan pahala melalui pajak.
Lalu dalam agama kristen dalam Injil Matius 17 ayat 24 sampai 27 dikatakan bahwa Yesus Kristus adalah seorang yang taat membayar pajak. Sehingga secara Logika dalam agama Kristen, Pajak itu wajib hukumnya dan mesti taat, Pemungut Pajak ialah orang-orang yang melaksanakan amanah itu dan tidak boleh dilawan.
Bagaimana dengan agama mayoritas di Indonesia, Islam. Pajak menurut mayoritas ulama hanya “dihalalkan”  dengan kata lain menurut KBBI bermakna dizinkan, masih dibawah agama yang lain yang jika dilihat secara tekstual itu adalah hal yang wajib dipatuhi, lihat Budhha dan Hindu yang menyatakan wajib membayar pajak demi keadilan dan pemerataan sosial.
Bahkan masih menurut Wiyoso Hadi lagi ada ulama-ulama yang justru mengaharamkan yakni ulama-ulama Wahabi Muhammad Nashiruddin Al-Albani dan Abdul Azin bin Baz, jadi jangan kaget jika ada ummat muslim yang merasa bayar zakat saja tidak usah pajak.
Sebagai seorang Muslim jelas tulisan Wiyoso menohok saya, bagaimana Islam yang katanya sempurna tapi tidak ada masalah Pajak didalamnya, tapi sebenarnya jika kita mengkaji mazhab lain yakni mazhab jaffari (ini merupakan mazhab Islam Syiah) ada kewajiban yang mirip dan serupa dengan itu yakni Khumus.
Menurut islam mazhab sunni Khumus ini hanya dalam artian arti rampasan perang, menurut mazhab syiah tidak terbatas hanya dari rampasan perang tapi bersifat umum, berbeda pandangan ini dari penafsiran kata ghanimtum kata ini jika diartikan khusus maka memang untuk harta rampasan , tapi jika umum maka itu bermakna keuntungan.²
Cara menghitung khumus pun sangat mirip dengan pajak yakni keuntungan yang di peroleh dalam satu masa (tahun) kemudian dikurangi biaya-biaya lalu dikalikan “tarif” khumus yakni 20%.
Jika dilihat dari pembahasan diatas maka di agama apapun pajak atau yang sejenisnya yang pada akhirnya digunakan untuk mendistribusikan kekayaan sehingga tercipta suatu keadilan dan kesejahteraan maka itu hukumnya wajib.
Hal ini yang harus ditanamkan dalam benak kita sebagai fiskus, kita adalah tentara-tentara ALLAH, anak-anak Tuhan yang memiliki tugas suci dan mengkhianati dan lalai terhadap tugas itu adalah kegagalan kita sebagai manusia yang beragama.
Jelas disamping itu masih banyak hal lain untuk membuat Pajak menjadi sarana kemandirian Bangsa, tapi mari mulai dengan cinta, kecintaan pada agama, kecintaan pada bangsa ini yang berarti kecintaan kita terhadap target penerimaan pajak, mengoptimalkan setiap potensi yang ada bukan “mengatur” potensi yang ada dengan cara “bekerjasama” dengan wajib pajak.

Kemandirian Bangsa ini melalui Pajak dimulai dari cinta kita terhadap Direktorat Jenderal Pajak, jangan mengotori nama Direktorat Ini, makanya PAJAK itu PembayarannyA JAngan diKurangi, disini jangan sampai kecintaan kita dengan Direktorat Jenderal Pajak dinodai dengan “kerjasama” kita dengan Wajib Pajak.Lalu kemudian PAJAK itu PenggunaannyA JAngan diKorupsi, uang pajak itu kita awasi penggunaannya, kita mulai dari anggaran kantor kita, jangan sampai anggaran kantor kita hanya untuk memperkaya beberapa orang, dan tentunya semoga Wajib Pajak dengan melihat kecintaan kita yang besar terhadap Pajak, menjadi tertular semangatnya, setidaknya dengan mengawasi APBN/APBD yang didalamnya ada Pajak.
Bukankah semua mesti dari hal kecil dan dari diri sendiri? Jadi ayo mencintai Direktorat Jenderal Pajak, dengan perbuatan.
Wallahu a’lam.

Catatan Kaki :
² Sumber Buku “Memahami Pelajaran Tematis Al-Qur’an dari Murtadha Muthahhari terbitan Sadr press Januari 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kontra post, sebuah teori pembukuan usang

Puisi : Zeus di Bukit Olympus

sajak Ibu made in Aan Mansyur