Rumah Maida

Sebenarnya tulisan tentang film ini telah lama saya tulis di note saya, cuma karena kesibukan dan keriangan menemukan belahan hatti yang baru, maka baru sempet menuliskannya di blog ini.

Rumah Maida sebuah film yang menawarkan idealisme sosialis dalam artian terbatas pada kolektivitas dan perhatian terhadap orang-orang yang terpinggirkan bukan pada sebuah gerakan revolusioner.

Film ini menceritakan tentang Maida dan pendidikan gratisnya kepada beberapa anak jalanan, kisah cinta sederhana tanpa bumbu yang kelewatan romantis dan konflik cemburu yang dibuat-buat kayak di sinetron-sinetron, tapi justru romantisnya lebih terasa.

Ada hal yang yang nda masuk akal di film ini, tentang piano yang tidak di curi2 dari rumah tua yang dijadikan tempat Maida "sekolah" padahal piano itu sudah ada sejak zaman jepang, dan rumah itu sempat kosong.

Ada pula beberapa hal yang tidak sejalan dalam pandangannya terhadap sejarah, terlalu menokohkan Soekarno, tapi ini adalah hak penulis, sutradara untuk menokohkan orang yang memang kharismatik itu, menurutku Soekarno memang kharismatik ,merakyat, jujur dan jauh dari korupsi tapi dia takluk oleh godaan wanita dan kekuasaan, dia tiba-tiba ingin menjadi dewa yang ingin di puja-puji.

Dalam film ada dialog tentang debat antara Soekarno dengan Hatta dan Sjahrir, tentang kapan Indonesia Merdeka, versi film itu Soekarno inginnya sekarang, Hatta dan Sjahrir ingin lebih dulu di perhatikan pendidikan (mungkin sutradara, dan penulis hanya melihat saat masa-masa awal PNI saja). Faktanya Sjahrir dan para pemuda lah yang menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok memaksa mereka memproklamirkan kemerdekaan, pada saat itu Soekarno inginnya tanggal 23 agustus menunggu pemberian kemerdekaan oleh Jepang.

Dalam film ini lagi-lagi ada cerita (tersembunyi) tentang cinta beda agama, Maida (kristen) dapat dilihat dari rumahnya yang ada salib dan hafalannya tentang cerita-cerita di injil saat mencari ruang bawah tanah. Sakera (muslim) terlihat dari akad nikah dengan cara islami. Lalu muncul juga gambar mereka menikah di gereja.

Tidak ada salahnya dengan adegan ini, tapi aku kasihan dengan MUI, saat film my name is khan booming mereka marah karena prianya muslim istrinya hindu, kini mereka kecolongan dalam film tanah air sendiri.

Menurutku MUI memang harus dirombak, mereka gagal mempresentasikan islam sebagai agama yang humanis, yang dapat diterima seluruh golongan minimal MUI harus memperbaiki divisi HUMAS mereka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kontra post, sebuah teori pembukuan usang

Puisi : Zeus di Bukit Olympus

sajak Ibu made in Aan Mansyur