Reformasi Perpajakan semoga bukan jalan buntu

Tulisan ini saya tulis setelah membaca sebuah coment di FB yang mengingkan agar semua “kejahatan” pajak sebelum masa modern dianggap tidak ada istilahnya “diputihkan”. Ide yang aneh menurutku tapi juga mencerminkan bagaimana Direktorat Jenderal Pajak di masa sebelum modernisasi. Buat yang belum tahu secara garis besar saya coba gambarkan.

Direktorat Jenderal Pajak sebelum modernisasi ada dua kotak besar kotak PAJAK (Kantor Pelayanan Pajak) dan kotak PBB (Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan) dan sebuah kota kecil bernama KARIKPA (Kantor Pemeriksa Pajak), jadi rahasia umum bahwa “penghasilan” di pajak itu jauh lebih besar (bahkan disbanding dengangaji modernisasi sekarang katanya), di Pajak daerah yang termasuk lahan “basah” yakni PPN,PPH OP,PPH Badan,POtput (urusin restitusi pajak), dan Pelayanan (yang nerbitkan NPWP), secara garis besar di PAJAK semua lahan itu “basah” kecuali dibagian umum, dengar cerita teman karena bagian umum di pajak “kering” maka di beberapa Kantor Pajak ada bagian umum yang “nakal” caranya tiap pegawai mau bon barang2 keperluan kantor exp kertas maka dikenakan biaya, bahkan masih katanya untuk fotocopy jika bukan orang umum maka dikenakan “tarif”, saya tidak pernah mengalami ini, jadi saya meragukannya jika sampai ke taraf “kegilaan” macam itu.

Kotak Besar kedua PBB,kantor ini mengurusi pajak Bumi dan Bangunan di kantor ini saya bekerja sebelum modern, disini hanya ada sebuah tempat “basah” yakni pendataan dan penilaian (PEDANIL) tapi jika di PBB di kota besar maka ada tempat “basah” lain lagi yakni “penetapan” dan “keberatan”. Kota kecil ketika Pemeriksaan (KARIKPA) nah ini jangan ditanya dech, ada joke waktu saya magang kalau minta sumbangan ke teman yang kerja di KARIKPA tinggal dia bukalaci terus keluari berapa kita perlukan hehehe. TAPI PERLU DICATAT, tempat “basah” diatas bukan berarti orang-orangnya pada korup. Saya punya teman yang kerja di Pelayanan KPP, dulu NPWP itu di pungut “biaya”, padahal dari dulu itu NPWP itu pendaftarannya gratis (jadi bukan hanya di zaman modernisasi perpajakan baru gratis), Cuma pegawai pajak yang membuatnya tidak gratis.Ok kita lanjut ke teman saya tadi karena dia bawahan yang terpaksa juga ikut permainan “bos” nya, kenakan tariff terhadap pendaftaran NPWP, tapi setiap dia dapat maka di taruhnya dicelengan mesjid kantor, ada juga yang di seksi POTPUT setiap dapat “jumat ceria” (istilah buat bagi2 uang di hari jumat) maka dia setor kemabali ke kas Negara dengan NPWP 00.000.000.000.0.000, dulu sebelum modern bisa setor pajak dengan NPWP begitu, jadi dia tidak makan, ada juga yang jalan tengah. Uang hasil “dapat” dari WP dia pakai hanya untuk pulang kampung atau beli barang, asal tidak untuk makan (kayaknya mau akalin TUHAN, kan TUHAN melarang makan makanan yang haram,kalau tidak dimakan yah tidak apa hehehe). Kalau saya Tanya kenapa begitu jawabannya “takut dikucilkan” “takut dikira melawan” “takut di mutasi” kalau jawabannya begitu artinya yang menekan mereka yah secara logika nalar saya yah “bos” dan “lingkungan” mereka. Itu gambaran Pajak Zaman sebelum reformasi perpajakan, orang bilang pajak dulu tuh diantara 10 pegawai pajak hanya ada 2 yang jujur.
Setelah zaman itu PAJAK jauh berubah dari segi kinerja dan tata organisasi, kami menjadi lebih baik, tapi masih ada kendala di sana sini, celah disana sini, Kasus GAYUS contohnya beberapa “kejahatan” GAYUS dan “bos” nya terjadi di era reformasi perpajakan, kejadiannya di JAKARTA, Kantor Pusat DJP, yang disana ada yang paling ditakuti oleh pegawai DJP namanya KITSDA (kalau nda salah singkatan dari Kepatuhan Internal dan Sumber Daya Aparatur), nah KITSDA yang ditakuti itu bisa kecolongan, sempat ada cerita kalau pegawai-pegawai yang di KITSDA sebenarnya malas karena yang diurusi lebih banyak ke masalah pribadi pegawai (misal perceraian, atau selingkuh, kawin lagi dll) ketimbang masalah kinerja.

Reformasi Perpajakan ini masih berjalan tapi itu perlu dukungan semua pihak, dari dalam Direktorat Jenderal Pajak dan dari Wajib Pajak Sendiri, ada beberapa hal yang mesti dilakukan Direktorat Jenderal Pajak untuk lebih menunjukkan “taji”nya kepada masyarakat.

1. Karena ini era keterbukaan, dan mencegah jangan ada lagi kasus yang mencoreng instansi ini, maka ada baiknya Direktorat Jenderal Pajak, melakukan pemeriksaan terhadap mantan Kepala KPP,KPPBB,KARIKPA, yang sekarang masih menjabat setelah reformasi, bukan mencari-cari kesalahan mereka, tapi logikanya tidak mungkin mereka mampu bertindak tegas terhadap suatu pelanggaran jika mereka pernah melakukan hal yang sama, yah istilah kerennya mengutip Jose Rizal ” tidak mungkin membersihkan Lantai dengan sapu yang kotor”. “pemutihan” terhadap kasus pajak sebelum modern justru akan menjadi hal yang buruk, sama saja menanam racun dalam tubuh instansi ini.

2.Lakukan uji integritas, kepatutan dan kemampuan terhadap jajaran eselon IV keatas, karena mereka ini yang menjadi contoh bagi pegawai-pegawai muda, jika mereka gagal yah copot dari jabatan mereka, kasihan rakyat yang menggaji mereka tinggi-tinggi, test ini mesti dilakukan oleh lembaga independent. Jangan hanya karena mereka terlanjur menjabat sebelum reformasi perpajakan, jadi mereka tetap menjabat sekarang, padahal jabatan yang mereka dapat dulu bisa jadi bukan karena kemampuan mereka tapi karena “kedekatan” mereka.

3.Alternatif kedua bisa dihilangkan dengan memanfaatkan system SIKKA (Sistem Informasi KEuangan,Kepegawain dan Aktiva) ini sistem baru yang tebentuk di era reformasi perpajakan, sistem ini mengawasi keuangan/anggaran kantor tiap kantor pajak, Aktiva tiap kantor Pajak, dan mengawasi kinerja tiap pegawai pajak.Nah disistem ini bisa dilihat kalau ada pegawai (pelaksana) yang tidak efektif, namun kelemahannya bagaimana menilai kinerja eselon IV keatas, caranya gampang bisa dilihat dari caranya mendelegasikan kerja, atau yang lebih celaka si pejabat tidak bisa mendelegasikan kerja karena tidak tahu computer sama sekali (lha kok bisa jadi pejabat), namun sistem ini belum berfungsi optimal dan pengawasan ini akan sangat sulit karena begitu banya yang mesti diawasi, saya lebih suka usul kedua tadi, lakukan test, dan test ini harus dilakukan secara berkala, sampai sistem pengawasan kinerja sempurna.

4. Perbaiki sistem mutasi, tidak boleh ada pegawai yang menempati pos yang sama lebih dari dua tahun, mencegah dia membuat “jaringan”, saya ambil contoh jika dia dua tahun di bagian pelayanan di kota yang sama,dia “bisa” akrab dan “memelihara” WP, dan bisa jadi “konsultan pajaknya” WP, iya tidak apa jika tidak mengenakan tariff tapi jika iya??, kedua hal ini untuk mencegah kejenuhan pegawai. SIstem Mutasi mesti fair (ini yang sulit) mutasi yang saya rasakan yang di kota terputar-putar di kota, yang didaerah tidak bisa masuk kota karena di kota sudah full, tapi didaerah selalu kurang tenaga. Mutasi juga sering aneh menurut saya, yang selalu “terlempar” yah pria yang masih muda atau bapak2, sedangkan ibu-ibu dan wanita nya ada rasa “segan” memutasi mereka, padahal inikan era emansipasi, kok takut di mutasi?? Atau seperti kutipan yang saya baca di twiit, kalau kekuatan wanita yang terbesar adalah menggunakan kelaemahan mereka sebagai wanita. Meminjam kata2 di blog seorang pemeriksa pajak BIG SUGENG, apakah tidak dipikir bahwa setiap pria dan lelaki yang di mutasi juga meninggalkan wanita. Jadilalah Pria2 yang dimutasi ini menjadi “lascar senja” pulang ketemu keluarga jumat sore balik ke tempat kerja minggu sore. Oia untuk menghemat biaya Negara, tiap mutasi pegawai yang di mutasi ke home base nya tidak usah dikeluarkan biaya dinas.
Ini hanya sebuah pandangan, pada akhirnya saya ingin instansi ini lebih baik, saya mencintai instansi ini tapi jujur saya takut mungkin ucapan teman sebelum PAJAK melakukan reformasi itu benar “reformasi ini paling hanya berjalan 5-10 tahun sudah itu kembali kayak dulu lagi, keras dan kencang di awal tapi semakin lama semakin loyo”.

BUAT PEGAWAI PAJAK REFORMASI PERPAJAKAN BUKAN HANYA SEKEDAR REMUNERASI

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kontra post, sebuah teori pembukuan usang

sajak Ibu made in Aan Mansyur

Puisi : Zeus di Bukit Olympus