Hudaibiyah, Makkah dan Pengampunan Pajak
“Badai di depan sangat keras, jangan sampai kita kehilangan kepala” (Tan Malaka)
Dalam sejarah islam dikisahkan seorang
sahabat kecewa dengan putusan Rasulullah s.a.w karena menandatangani
perjanjian Hudaibiyah dan sekaligus
menunda rencana mengujungi Ka’bah pada tahun tersebut. Para sahabat dan
pengikut Rasulullah jelas ada yang kecewa karena pada saat itu mereka merasa
lagi berada di atas angin, memenangkan beberapa perang penting namun demi
perhitungan dan kepentingan yang lebih besar
menurut perhitungan Rasulullah s.a.w maka umat Islam diputuskan
untuk mundur dan mengalah.
Dalam sebuah kisah yang terkenal
dengan nama Fathul Makkah (penaklukan kota Makkah) saat itu kota Makkah sudah
berhasil dikuasai oleh umat muslim , para penduduk kota Makkah yang dulu
menghina hingga menyiksa orang-orang yang beralih memeluk agama Islam, selangkah
lagi akan ditangkap dan dihukum, namun pada saat-saat terakhir itu Rasulullah
s.a.w demi kepentingan yang lebih besar masih memberikan pengumuman: barang
siapa yang berlindung dalam rumahnya, maka dia aman; barang siapa yang
berindung di rumah Abu Sufyan maka dia aman; barang siapa yang memasuki
Masjidil Haram maka dia aman.
Sebuah keputusan atau kebijakan yang
diambil oleh seorang pemimpin siapapun dia pasti menimbulkan pro dan kontra,
yang jika kita ingin sedikit bersabar maka baiknya hasilnya dilihat setelah
kebijakan itu berjalan dan atau telah selesai, namun di Indonesia ketika pengaruh lebay media
sosial begitu memiliki efek, maka yang ada seringkali ada setimen-sentimen
negatif yang dilain sisi juga kita harus pahami sebagai bagian dari demokrasi.
Begitulah nasib UU No.11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak atau yang lebih
ngepop di media dengan Amnesti Pajak.
Pegawai pajak di lapangan pun
sebenarnya mungkin tidak kalah kecewanya, kita bayangkan saja mereka
dipersenjatai dengan Peraturan-peraturan dan Perjanjian antar lembaga yang siap
dan telah membuka akses harta para Wajib Pajak.
Entah sudah berapa banyak surat himbauan, berapa usulan pemeriksaan yang
siap dieksekusi, namun kemudian panglima tertinggi mengeluarkan instruksi
“sabar dan tunggu”. Dalam hal ini pegawai pajak sebagai pasukan “perang”
ekonomi bangsa ini mau tidak mau mesti melaksanakan perintah secara ikhlas.
Kebijakan Amnesti Pajak haruslah
diakui bukan sebagai kebijakan yang sempurna, namun kebijakan ini adalah sebuah
kebijakan yang penting dalam memperkuat kekuatan ekonomi Indonesia, lebih
khusus lagi memperkuat kekuatan
pengusaha-pengusaha dalam negeri dalam menghadapi era ”perang pasar”. Saya
takkan mengurai tentang data, tapi dengan kondisi sekarang bisakah pengusaha
kita memiliki harga dan kualitas yang mampu bersaing dalam era “perang pasar”
nantinya. Indonesia tertinggal jauh dari negara tetangga seperti Singapura dan
Malaysia dalam hal infrastruktur kegiatan ekonomi. Terlalu mahal biaya yang
dikeluarkan untuk membuat dan memasarkan produk dalam negeri. Hal ini
disebabkan antara lain masalah infrastuktur dan birokrasi yang teramat tidak
memadai. Soal masalah birokrasi ,pemerintah beberapa bulan yang lalu telah
memangkas peraturan-peraturan yang dianggap mempersulit kegiatan usaha, soal
infrastruktur pemerintah mulai melaksanakan beberapa mega proyek yang secara
politik sebenarnya kurang populis karena belum menimbulkan efek langsung ke
masyarakat dalam waktu dekat, namun itu menjadi penting untuk mempersiapkan
pondasi ekonomi bangsa agar mampu bersaing di era “perang pasar” nantinya.
Pembagunan infrastruktur selama lima
tahun ini, menurut pemerintah memerlukan dana sebesar 4000an T sedangkan APBN
hanya bisa mempersiapkan 1000an T, APBN kita masih tersandera oleh gaji para
birokrat yang juga tidak bisa dianggap sepele, karena kesejahteraan pegawai (walau
mungkin kecil implikasinya) diperlukan untuk menekan korupsi dan meningkatkan
profesionalisme para pegawai. Pertanyaannya dari mana kita mendapatkan anggaran
untuk infrastruktur itu? utang Luar Negeri adalah salah satu jalan yang
diperbolehkan oleh negara, namun bukankan ke depannya bisa jadi menyandera
kepentingan kita sebagai bangsa? Sedangkan ternyata di luar sana banyak orang
kaya kita memarkir dananya, kenapa tidak kita manfaatkan itu saja? Di sinilah Amnesti
Pajak menjadi penting, pemerintah butuh dana cepat.
Mari kita lihat syarat-syarat dana
repartriasi dinvestasikan di dalam negeri. Dana-dana tersebut harus
diinvestasikan ke : 1. Surat Berharga Republik Indonesia; 2. Obligasi BUMN;
3.Obligasi Pembiayaan Lembaga Pembiayaan Milik Pemerintah;4.Investasi Keuangan
pada bank Persepsi; 5. Obligasi Perusahaan Swasta yang OJK; 6.Investasi
Infrastruktur melalui kerjasama pemeritah dan badan usaha; 7. investasi sektor
riil berdasarkan prioritas yang ditentukan oleh pemerintah; 8. Bentuk Investasi
Lainnya yang sah sesuai UU (pasal 12 ayat 3 UU Pengampunan Pajak). Dilihat dari
pola repartriasi ini jelas bahwa pemerintah menyiapkan benteng buat memperkuat
daya saing ekonomi kita di era “perang pasar” nantinya.
Disamping itu pemerintah juga membuka
penerimaan pajak melalui pengakuan harta Wajib Pajak dalam negeri yang belum
melaporkan pajaknya secara benar guna memanfaatkan sarana amnesty pajak, selain
untuk menutupi potensial gap dari
target penerimaan juga sebagai “undangan terakhir” sebelum Pemerintah mengambil
tindakan tegas diera keterbukaan data dan informasi perbankan.
Memasuki era “perang pasar” ini saya
rasa jika kita memang mencintai negeri ini maka menyukseskan tax amnesty adalah
hal yang harus kita tempuh, mengutip kalimat Bapak Republik ini Tan Malaka “Badai di depan sangat keras, jangan sampai kita kehilangan kepala”
Komentar
Posting Komentar