PION
“Pion tak bisa mundur, yang bisa mereka lakukan ialah saling mendukung”
Setelah riuh
reda forum diskusi,kaskus hingga kompasiana, kemana para pion mesti melangkah?.
Secara umum saya tak mendukung perlawanan yang dilontarkan oleh apa yang di
sebut KETAPEL itu, banyak hal yang membuat saya agak kecewa dengan cara mereka
bergerak penuh emosi dan hanya berfokus pada perbedaan materi, namun apakan
pion membiarkan pion lain mati dengan percuma?
Sebagai sesama
pion, yang terkadang pula digunakan sebagai tameng oleh para perwira maka saya
pikir adalah hal yang kurang tepat juga jika kita membiarkan mereka berada
dalam ancaman, maupun juga memberikan ruang pembungkaman terhadapa kritik ke
atasan, namun sekali lagi cara yang ditempuh mestilah sebuah jalan bersama, dan
santun karena bagaimanapun pada akhirnya kesolidan organisasi Direktorat
Jenderal Pajak adalah hal yang lebih utama dalam menjaga sinergi pengamanan
penerimaan Negara.
Lalu apa langkah
selajutnya? Jawabannya yang pertama adalah bekerja, lalu??
Tahun depan
(2016) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengambil ancang-ancang menuju Badan
Penerimaan Pajak (BPP) jelas ini sebuah langkah yang sangat signifikan, namun
seperti yang saya utarakan sebelumnya di blog ini, jika BPP hanyalah copy paste DJP, maka bangsa ini hanya
menambah pemborosan anggaran Negara. Apa yang harus kita siapakan?
Sebagai
pelaksana (anda tetap bisa membacanya pion), menghadapi BPP ini, maka saya
menganggap dipandang perlu adanya sebuah serikat pekerja untuk mengakomodir
suara-suara kritis tehadap kebijakan-kebijakan atasan yang bisa mempengaruhi sistem.
Serikat Pekerja
memiliki beberapa fungsi, antara lain :
1. Sarana
komunikasi yang lebih baik antara pengambil kebijakan dan para pelaksana di
lapangan, selama ini pelaksana cenderung hanya memperoleh informasi tentang
organisasi DJP melalui media mainstream atau broadcast dari forum-forum diskusi, yang kemungkinan menjadi kurang
efektif karena mengalami distorsi.
2. Sarana
buat pelaksana dalam memperjuangkan hak-haknya dan mempertanyakan (secara santun)
kepada para pengambil kebijakan, misalnya : kenapa Ujian Kenaikan Pangkat tidak
regular?, kenapa alumni Program Diploma Satu tidak boleh menduduki jabatan
apapun? Apakah kebijakan ini sudah memperhitungkan begitu banyaknya kantor yang
masih kekurangan pegawai, dan banyaknya pegawai yang mengalami kesulitan
melanjutkan kuliah karena lokasi tugas mereka?.
3. Sarana
buat menjadi bahan penilai kinerja atas di daerah-daerah. Seberapa persen
kemampuan pusat mengetahui keberhasilan pemimpin-pemimpin yang mereka tunjuk
menjalankan amanah di daerah? Jangan-jangan keberhasilan itu hanya modal
“stempel dan tanda tangan” sedangkan yang lain dikerjakan bawahan. Untuk
hal-hal yang seperti ini serikat pekerja bisa melaporkan yang bersangkutan
sehingga anggaran yang besar digunakan untuk menggaji orang yang tepat.
4. Menjadi
sarana berbagi. Kita hidup di zaman penghasilan kita lebih baik dari mereka
yang lebih dulu berjuang di jalan kita. Saya pikir serikat pekerja nantinya
juga bisa bertugas memantau para pensiunan Direktorat Jenderal Pajak, yang
tertimpa musibah dan sebagainya.
Lalu,kenapa semua itu bukan lewat KORPRI? Jawabannya karena
Serikat Pekerja diharapkan lebih mampu menjadi wadah bukan hanya korps
seremonial semata atau diskusi-diskusi hampa tanpa ada satu gerakan nyata.
Jadi,
berani tidak?
Komentar
Posting Komentar