Perlukah Diklat Bela Negara?
Di sini negeri kami
Tempat padi terhampar
Samuderanya kaya raya
Tanah kami subur, Tuhan
Di negeri permai ini
Berjuta rakyat bersimbah luka
Anak kurus tak sekolah
Pemuda desa tak kerja
Mereka dirampas haknya
Tergusur dan lapar
Bunda relakan darah juang kami
Padamu kami berjanji
(lirik
Darah Juang cipt John Tobing)
Sejak
menyeruak kasus Gayus Tambunan yang diikuti dengan rentetan kasus pegawai pajak
yang “kongkalikong” lainnya, dan terakhir kasus Dhana Widyatmika, pimpinan
Direktorat Jenderal Pajak seperti terpukul dan tersadar perlu sebuah terobosan,
baik itu dalam hal pengawasan melekat maupun dalam hal peningkatan kedisiplinan
dan cinta pada negara. Kedua hal ini dianggap perlu untuk mengatasi sifat egois
beberapa pegawai yang lebih menyukai memperkaya diri sendiri daripada
mengumpulkan uang tersebut di kas negara.
Entah
dari mana ide ini awalnya, untuk memperkuat hal-hal tesebut maka Diklat Bela
Negara dianggap sebagai strategi yang tepat. Diklat Bela Negara dari informasi
yang saya peroleh diadakan pada tiap Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak
(jumlah sekitar 31 Kanwil) pada tiap Kantor Wilayah memakan anggaran kurang
lebih 1 Milyar hingga 1,5 Milyar ini berarti ada paling sedikit 31 Milyar
anggaran negara yang digunakan untuk mengadakan diklat ini, lalu yang menjadi
pertanyaannya apakah diklat ini pada akhirnya akan menghasilkan output yang
sepadan dengan biaya yang dikeluarkan?.
Diklat
bela negara yang berlangsung sekitar 2-3 minggu ini nantinya akan diwajibkan
terhadap para Account Representative (AR)
dan Juru Sita, bagi Kantor Pajak yang memiliki jumlah pegawai yang masih kurang
hal ini akan sangat merepotkan, dan pada akhirnya akan berefek pada target
penerimaan negara yang ada pada tiap kantor tersebut, itu kalau kita semua
masih percaya kalau waktu sama dengan uang.
Berkaca
pada diklat-diklat sebelumnya yang seringkali hanya hinggap di kepala kita
selama beberapa bulan karena tertelan oleh kebiasaan yang ada di sekeliling
kita, maka ada kemungkinan bagi beberapa pegawai efek dari diklat ini akan
bernasib sama dengan diklat-diklat lainnya. Di samping itu pada masing-masing Kantor Pajak telah ada kegiatan
Internal Corparate Value (ICV) yang
bertujuan mengasah kerja sama tim, dan mengajarkan nilai-nilai Kementerian
Keuangan, yang secara tersirat salah satunya adalah cinta kepada negara dan
tidak korupsi, bukankah ini tumpang tindih antar diklat?, atau mungkin Diklat
Bela Negara memiliki tujuan yang lebih luas?.
Cinta
kepada negara dan tidak korupsi, tidaklah bisa dibangun oleh diklat semata tapi
oleh lingkungan yang ada. Saya akan mengambil contoh yang sederhana, bagaimana
kondisi Diklat Pra Jabatan yang penuh kedisiplinan akan berlalu begitu saja
begitu pegawai yang bersangkutan masuk ke dalam kantor, di mana atasan dan atau
rekan-rekan kerja mereka berlaku tidak seperti yang mereka bayangkan, hasilnya
secara lambat laun akan mengakibatkan nilai-nilai dan kebiasaan yang dia terima
dalam diklat tadi menjadi tergerus dan mengikuti pola kerja atasan dan atau
rekannya.
Oleh
karena itu jika Diklat Bela Negara bertujuan lebih luas kepada mental pegawai
maka diklat ini ada kemungkinan gagal dan pada akhirnya rakyat mesti melihat
bagaimana uang milyaran rupiah tak memiliki arti buat mereka, setidaknya mari
kita renungkan sejenak jika anggaran sebesar itu dialihkan untuk pembangunan
sekolah atau pembukaan lapangan kerja, hasil-hasil yang dapat dinikmati
langsung oleh masyarakat, bukan program-program yang hasilnya tidak secara
langsung dapat dilihat oleh masyarakat.
Lalu
bagaimana solusinya? Ada beberapa langkah yang sebenarnya sederhana dan tidak
terlalu memakan banyak anggaran negara jika kita ingin menciptakan mental
pegawai pajak yang bisa diandalakan.
1. Menyelipkan
materi Bela Negara, Anti Korupsi dalam diklat-diklat Perpajakan.
Hal ini sebenarnya sudah
berlangsung, dapat kita lihat dengan adanya apel pagi dan malam, serta latihan
baris berbaris pada tiap diklat perpajakan. Disamping itu hal yang perlu
dilakukan ialah menambah jam tiap diklat perpajakan (apapun itu), dengan materi
anti korupsi yang dibawakan oleh KPK atau BPK (dan atau BPKP), hal ini mungkin
tidaklah terlalu memiliki efek yang signifikan, tapi hal ini tetap diperlukan
sebagai dasar pengetahuan dan sentilan moral terhadap kinerja pegawai.
2. Penciptaan
lingkungan kantor yang bermental cinta negara dan anti korupsi.
Lingkungan
kantor pada dasarnya diciptakan oleh kondisi kebersamaan para pegawai dan
kemampuan para atasan dan rekan senior memberikan contoh kepada para bawahan
dan rekan pegawai baru. Hal ini yang memiliki efek terbesar dan tersulit karena
ada beberapa pegawai tua yang beruntung berada pada posisi memegang jabatan
karena senioritas semata bukan karena kemampuan. Bagaimana caranya ? caranya
melalui “cuci otak”, yang saya maksud di sini adalah secara perlahan memasuki
area bawah sadar para pegawai, salah satu cara yang saya tawarkan adalah
melalui musik, pada pagi hari yang biasanya kita mulai dengan mengajak berdoa
(bahkan ada yang mengumpulkan pegawai buat bermotivasi ria) kita sisipkan
dengan lagu "Indonesia Raya" dan "Darah Juang" untuk mengawali hari kerja, dan pada
tiap sejam atau dua jam, sekertaris (pegawai bagian umum) wajib memutar
instrumen lagu “darah juang” menemani kerja para pegawai lalu pada jam
menjelang jam pulang yang biasanya kita hanya tutup dengan doa, kita tambah
dengan memutar lagu “syukur”.
Kedua hal ini memang tidak secara
langsung membuat perubahan seperti yang diharapakan para petinggi Direktorat
Jenderal Pajak, namun setidaknya hal ini bisa terjadi secara bertahap dan tidak
mempertaruhkan uang negara hingga milyaran rupiah.
Jadi Masihkah tega kita menjalankan
program milyaran rupiah sedangkan masih banyak sekolah tak beratap dan
berbangku?
Salam
@priyantarno
Komentar
Posting Komentar