Benang Kusut Sistem Pelaporan Pajak
“Urus
Pajak ribet, banyak sekali jenis formulirnya,pusing isinya” –sebut saja Becce.
Keluhan
sejenis ini sering kita dengar dilontarkan oleh Wajib Pajak, tapi memang harus
kita akui terlalu banyak jenis formulir pajak di negara kita .Untuk memudahkan
Wajib Pajak kita butuh sebuah sistem yang lebih sederhana dan mudah.
Sistem
Perpajakan di Indonesia merupakan sistem yang menganut “withholding tax” di
mana lembaga pajak (Direktirat Jenderal Pajak) memberikan wewenang kepada wajib
pajak orang pribadi atau badan untuk memotong dan memungut sendiri pajaknya,
dan aparat pajak berwenang memeriksa. Sistem yang ideal untuk menjaga
kepercayaan kepada Aparat Pajak dan Wajib Pajak, namun sejalan waktu, sistem
ini semakin melambat hal ini disebabkan oleh pertumbuhan Pajak itu sendiri yang
mengakibatkan munculnya jenis pajak dan perhitungan pajak yang terbarukan yang
pada akhirnya justru menyulitkan Wajib Pajak, khususnya yang berada jauh dari
pusat infomasi (baca :Kota). Hal inilah yang perlu dipikirkan jalan keluarnya
secara bersama.
Direktorat
Jenderal Pajak, berusaha mempermudah wajib pajak dengan mengeluarkan PP
46/2013, pajak atas penghasilan usaha di bawah 4,8 M. Di luar kontroversi yang
ada bahwa ada kemungkinan PP 46 ini menabrak peraturan yang di atasnya yakni UU
Pajak Penghasilan, karena sebagaimana kita ketahui Pajak Penghasilan itu
dikenakan terhadap tambahan ekonomis, bukan terhadap peredaran usaha (lebih
lanjut soal ini baca disini). PP 46 ini
memiliki tujuan yang sangat bagus yakni
memudahkan Wajib Pajak menghitung pajak mereka sendiri, sebuah langkah yang
juga patut kita apresiasi.
Saya
sendiri mencoba berpikir lebih sederhana, kenapa kita tidak mencontoh sedikit
dari Jepang, daripada Wajib Pajak yang sibuk menghitung pajaknya, kenapa kita
tidak berikan kewenangan itu kepada Aparat Pajak?. Bukankan ini kembali ke era
yang lama (sebelum tahun 1980-an), bukankah era itu aparat pajak menjadi musuh
publik, karena secara sewenang-wenang menghitung pajak? Benar!, tapi sekarang
adalah masa yang berbeda, kondisi pendidikan dan sosial masyarakat indonesia
telah jauh berkembang, serta adanya era keterbukaan bisa menjadi alat kontrol
terhadap aparat pajak dalam melaksanakan tugas ini.
Keluhan
terbesar dari Wajib Pajak ialah masalah rumitnya pengisian formulir dan
perhitungan pajaknya, oleh karena itu hal ini yang harus dibenahi terlebih
dulu. Wajib Pajak ada baiknya hanya mengisi formulir yang bersifat data
Penghasilan dan data pribadi, lalu hal ini disampaikan kepada Direktorat
Jenderal Pajak, yang kemudian akan mengirim surat tagihan pajak berdasarkan
data yang dilaporkan oleh Wajib Pajak, kemudian Wajib Pajak membayar ke
Bank/Kantor Pos.
Bukankah
hal ini membuat adanya peluang negosiasi antara Wajib Pajak dan Aparat Pajak?
Benar , bahkan hal itupun masih bisa terjadi pada sistem yang sekarang ini,
dalam sistem yang saya tawarkan ini akan terjadi kontrol antara satu pengusaha
dengan pegusaha lainnya. Misal pengusaha A merasa tokonya sama besarnya dengan
pengusaha B, kenapa pajaknya berbeda? Hal –hal seperti ini bisa menjadi dasar
pemeriksaan nantinya, di samping itu tidak berubahnya laporan keuangan selama
tiga tahun terakhir juga mestinya masuk ke dalam kategori yang harus diperiksa,
dengan sistem ini maka pengusaha akan berhati-hati melaporkan keuangannya.
Sistem
ini jelas membutuhkan revisi undang-undang dan sumber daya manusia yang besar,
namun dengan sistem ini jaring pajak bisa menjadi lebih luas, dan wajib pajak
tidak terlalu pusing lagi dengan perhitungannya.
Bagaimana
dengan bukan pengusaha? Untuk pegawai atau karyawan melampirkan ke kantor pajak
laporan penghasilan setahun mereka dan bukti pemotongan oleh kantor, Nihil
ataupun Kurang Bayar, Kantor Pajak tetap mengeluarkan Surat Pemberitahuan Pajak
terutang kepada Wajib pajak yang bersangkutan.
Untuk
Wajib Pajak badan sistem yg ada sekarang sudahlah sangat baik,Badan usaha
sebagian besar telah mengerti pembukuan sehingga sistem satu tarif yang ada
sekarang sudah sangat mudah, hal yang diperlukan untuk Wajib Pajak Badan ialah
memperketat dan melakukan pemeriksaan berkala terhadap wajib pajak badan
sehingga bisa lebih optimal dalam pengawasan pajaknya.
Hal
yang harus diperhatikan ialah sistem seperti di Jepang yang saya gambarkan ini
hanya bisa berjalan efektif jika Direktorat Jenderal Pajak memiliki basis data
yang lengkap, salah satunya ialah data rekening bank wajib pajak, tanpa itu
tetap saja terbuka peluang mereka yang kaya membayar sama dengan mereka yang
masih dalam kategori mampu.
Salam
@priyantarno
Komentar
Posting Komentar