Apakah Boikot (Pajak) Sebuah Jalan?
“.... soal demo para
petani, ancaman memboikot pajak dan pemilu, idealnya dilihat sebagai bentuk
kesadaran politik. Artinya mereka bukan lagi
golongan masyarakat yang pasif karena minimnya akses informasi dan pendidikan,
cuma boleh narima ing pandum dalam hubungan antara warga negara dengan negara
per se, seperti stereotype selama ini. Dan ini prestasi.
Prestasi? Ya! Pertama,
mengancam memboikot pajak, artinya mereka sepenuhnya sadar bahwa pajak adalah
kewajiban mereka terhadap negara, tapi di dalamnya terkandung hak mereka yang
harus dipenuhi oleh negara. Meski Undang-Undang menyebut “tidak mendapatkan
imbalan langsung”, namun tujuan pajak tetap “bagi sebesar-besar kemakmuran
rakyat”. Berangkat dari sini, harusnya bisa menjadi pemahaman bersama, bahwa
tuntutan mereka sangat relevan: hak kemakmuran yang dijanjikan oleh
Undang-Undang.
Kedua, dengan mengancam
memboikot pemilu, artinya mereka juga paham bahwa pemilu adalah konsekuensi
logis atas negara yang mengaku demokratis, bahwa minat masyarakat akan pemilu
adalah indikator berhasil-tidaknya sebuah negara menjalankan demokrasi, yang
juga harus menjadi pelajaran bagi pemenang pemilu sebagai pembuat kebijakan
berikutnya. Kesadaran semacam ini harusnya terus dipupuk, bukan justru
dimatikan. Mereka bukan tidak mau membayar pajak atau mengikuti pemilu kok,
cuma menagih kewajiban negara”. (Benang Merah Itu Bernama Demokrasi, Ahmad
Taufiq).
Saat menulis kalimat-kalimat di atas saya membayangkanmu
lagi duduk di depan laptop Toshibamu, menghisap kretek ditemani secangkir kopi
dan rindu akan “nyonya”mu yang terpisah dua jam perjalanan udara dari tempatmu
berada kini.
Kawan, seperti biasa sejak lima tahun yang lalu, aku
adalah pengagum tulisan-tulisanmu yang kian hari kian berani ,tapi kita sepakat
ini bukanlah sebuah sikap pemberontakan maupun sebuah oposisi terhadap
pemerintah tempat kita menerima upah untuk makan minum dan beristirahat.
Sependapat dengan tulisanmu, saya mendukung sepenuhnya rakyat mesti paham akan
hak dan kewajibannya, dan menuntut akan pemenuhan hak-haknya sebagai warga
negara yang telah dijamin oleh undang-undang kita, namun apakah boikot pajak
dan pemilu adalah sebuah jalan?
Tan Malaka, dalam sebuah tulisan aksi massa”nya menulis “......... Selama
seorang percaya bahwa kemerdekaan
akan tercapai dengan
jalan "putch" atau anarkisme, hal
itu hanyalah impian
seorang yang lagi
demam.Dan pengembangan keyakinan
itu di antara
rakyat merupakan satu perbuatan
yang menyesatkan, sengaja atau tidak”.
“Putch” sendiri menurut Tan Malaka “itu adalah
satu aksi segerombolan kecil
yang bergerak diam-diam dan
tak berhubungan dengan
rakyat banyak.Gerombolan itu
bisanya hanya membuat
rancangan menurut kemauan dan
kecakapan sendiri tanpa
memedulikan perasaan dan kesanggupan
massa. Ia sekonyong-konyong keluar
dari guanya tanpa memperhitungkan lebih
dulu apakah saat
untuk aksi massa sudah
matang atau belum”
Boikot pajak dan pemilu tadi bukankah lebih dekat kepada
“putch” ini, kawan? Pihak-pihak yang melakukannya, apakah telah berpikir
dampaknya dan yakin bahwa massa yang mereka miliki cukup besar dan dapat
dukungan mayoritas rakyat?. Dalam tulisanmu
ini gerakan boikot ini akan dilakukan oleh Forum Masyarakat Petani Pati Selatan
(FMP2S), terkait distribusi pupuk dan Asosiasi Petani Tembakau (APTI) terkait
undang-undang mengenai tembakau.
Soal FMP2S ini adalah sebuah gerakan lokal semata, mereka
bisa jadi hanya dianggap angin lalu, sedangkan soal tuntutan APTI bukankah ini
masih dalam kondisi pro dan kontra. Pemerintah sendiri sebagaimana kita ketahui
pada akhirnya tak bisa memuaskan semua pihak.
Boikot pajak ini pada akhirnya ialah mengurangi
penerimaan negara, bukankah itu membuat rencana pembangunan kita tertunda dan
untuk tetap melaksanakan target pembangunan kita terpaksa menambah utang? Pada akhirnya rakyat
sendirilah yang rugi. Saya sadar kamu pun tahu ini, kalau bank dunia dan
kawan-kawannya itu lebih kejam dalam hal bunga dibanding bank-bank yang
“menyandera” SK PNS kita.
Boikot pemilu, tak lebih daripada sebuah jalan buntu ,
membuat mereka yang culas kembali duduk di kursinya dan menjual nama kita
sebagai rakyat, lalu pada akhirnya mereka akan kembali menciptakan
undang-undang baru yang makin menyusahkan rakyat, dan kita tak bisa melakukan
apa-apa kecuali berteriak di luar pagar parlemen dan tembok gedung pemerintahan. Lewat pemilulah
pintu masuk kita melawan mereka, diam (atau boikot yang tidak melalui kordinasi
massa) bukanlah sebuah jalan.
Pada akhirnya, saya sadar jangan-jangan ini yang
dikatakan teman seperjalananmu itu soal pentingnya pajak dan pemilu, tapi
biarlah saya berada pada sisi itu sahabat. Boikot pajak dan pemilu bukanlah
sebuah jalan saat ini , hal ini disebabkan kondisi massa, politik, dan ekonomi
bangsa ini. Boikot pajak dan pemilu menurut saya bolehlah dianggap sebagai
kesadaran politik, namun menurutku hal ini tidaklah terlalu tepat. Hal ini
mirip dengan kalimat “terima uangnya jangan pilih orangnya”, ini seakan-akan
sebuah kesadaran politik namun lebih daripada “topeng” tentang mengambil keuntungan semata, bukankah lebih baik “tolak uangnya, jangan pilih
orangnya” ?. Saya tetap saja setuju pada kalimat bernada birokrat itu “ayo bayar pajak dan ikut
pemilu, lalu awasi dana dan wakil anda, jika menyimpang mari gantung mereka di
alun-alun kota”.
Saat saya menulis ini saya membayangkan kita lagi
berdiskusi ditemani secangkir teh dan kopi, pada sebuah warung kopi di sudut
jalan, lalu sesekali berbicara tentang “nyonya”mu, disertai kalimat tanya,
kapan nikah?.
Dari kawanmu
@priyantarno
Sumber :
2.
Massa
Aksi, Tan Malaka 1926
Komentar
Posting Komentar