Dokter, antara Kriminalisasi dan Rasa Takut
sumber:tempo.co |
Hari
ini adalah hari bersejarah buat para dokter, akhirnya para dokter yang masuk
kuliah dengan biaya mahal itu, yang selalu bangga dengan jaket putih itu, turun
ke jalan, mereka mogok, tapi pasien tidak perlu khawatir dalam rilisnya di
media Ikatan Dokter Indonesia menjamin mogok dokter ini tidak berlaku bagi
beberapa dokter yang berjaga di bagian penting seperti Unit Gawat Darurat,
karena sekali lagi menurut Ikatan Dokter Indonesia , para dokter mesti
mengutamakan keselamatan pasien sebagaimana Sumpah Dokter.
Tema
mogok hari ini ialah Aksi Solidaritas dan Tafakur Nasional, penggunaan kata
tafakur merupakan hal yang menarik, tafakur berarti merenungkan, menimbang
dengan sungguh-sungguh, berarti dalam hal ini Ikatan Dokter Indonesia selain
melakukan solidaritas terhadap kolega mereka yang di vonis bersalah oleh
Mahkamah Agung, mereka juga mengajak bangsa ini secara nasional untuk menimbang
baik-baik putusan itu, jika logika ini yang digunakan maka tindakan tafakur ini
bukan berarti menyalahkan putusan Mahkamah Agung tapi juga menimbang baik-baik
apakah putusan itu benar apa tidak.
Dokter
itu bukan Tuhan, begitupun para Hakim, Hakim hanyalah bagian dari “tangan-tangan
keadilan” Tuhan di bumi, begitupun para dokter mereka adalah bagian “tangan-tangan
penyembuh” Tuhan di bumi, keduanya adalah posisi yang terhormat, tapi bisa saja
mereka juga salah apalagi sekedar lalai.
Mogok
sendiri jika dilihat dari sejarahnya adalah bentuk perjuangan kaum buruh dan
merupakan strategi Komunis, Tan Malaka menjadikannya sebuah senjata perjuangan,
Tan Malaka yang bernama lengkap Ibrahim Datuk Tan Malaka ini, dalam tulisannya
berjudul Aksi Massa, menganggap jalan terbaik mencapai cita-cita revolusioner
adalah melakukakan massa aksi, yakni pemboikotan, pemogokan dan demonstrasi,
massa aksi bertujuan untuk memenuhi kehendak politik dan ekonomi mereka. Apa
yang dicari para dokter ini dalam aksi mogok mereka?
Pertanyaan
inilah yang mesti dijawab oleh para kalangan dokter yang mengikuti dan
mendukung aksi mogok? Apakah mereka melakukan aksi mogok sebagai bentuk
dukungan politik terhadap kolega mereka yang menurut mereka dikriminalisasi? Jika
iya, maka apapun keputusan Peninjauan Kembali nanti mereka harus terima,
bukankah hukum adalah panglima termasuk bagi politik itu sendiri. Begitupun
kini menurut pemikiran saya para dokter itu boleh kecewa dengan keputusan
Mahkamah Agung, tapi membuat anggapan para hakim ini bodoh dan sekedar mencari
sensasi, adalah hal yang harus dibuang jauh-jauh, mereka para hakim sama
terhormatnya dengan para dokter, sehingga keputusan para hakim mesti diakui dan
dilaksanakan, hingga ada putusan yang membatalkannya.
Lalu
bagaimana jika aksi mogok ini, bukan karena tujuan itu, melainkan karena para
dokter itu takut jika mereka lalai dan terjadi hal serupa hingga mereka divonis
bersalah? Jika ini yang ada dalam benak sebagian dokter, maka saya mengutip
kalimat teman saya Heru Septiawan “ Buat apa hidup kalau takut”. Tiap profesi
bisa ada unsur lalai di dalamnya, karena yang menjalankan profesi itu adalah
manusia, bahkan seorang tukang becak pun bisa lalai.
Salam
@priyantarno
Komentar
Posting Komentar