Andai Pajak Secantik Maepa Deapati
Pajak
berbeda dengan zakat, zakat adalah perbuatan yang didasari oleh ajaran agama,
sesuatu yang sejak kecil telah dikenalkan oleh kedua orang tua kita, dalam hal
zakat saja acapkali ada diantara kita yang tak jujur, apalagi soal pajak,
sesuatu yang baru kita kenal setelah dewasa.
Zakat
itu seperti ibu, kita mengenalnya sejak dalam rahim dan buaiannya, tapi
kadangkala kita juga masih sering berkata “ah” kepadanya, Pajak itu seperti gadis
manis (atau pria tampan) yang menggoda,butuh waktu buat mencintainya.
Seorang
teman berseloroh susahnya menumbuhkan kesadaran Wajib Pajak tentang pentingnya
pajak, hal ini adalah hal yang lumrah, adakah manusia yang rela penghasilannya
dipotong? sebagai makhluk duniawi wajar bila seseorang ingin penghasilan yang
bersih tanpa potongan ini dan itu.
Untuk
itu mari melihat pajak dari sudut pandang yang sama, seperti kata Soe Hok Gie “kita
berbeda dalam segala kecuali dalam cinta”.
Sebuah
kisah rakyat di Sulawesi Selatan, bercerita tentang seorang gadis cantik jelita
bernama Maepa Deapati dan pemuda bernama Datu Museng. Maepa Deapati adalah
seorang putri dari kerajaan Sumbawa, pesona kecantikannya telah membuat seorang
putra bangsawan dari Gowa, Datu Museng jatuh cinta. Datu Museng dalam akhir
kisah tersebut bahkan mengabulkan keinginan Maepa Deapati, agar sang putri
tewas di ujung badiknya¹, sehingga tak jatuh di pelukan kapten Belanda. Datu
Museng sendiri pada akhirnya tewas ditangan sang kapten.Cinta yang membuat Datu
Museng rela melakukan apa saja.
Andai
Pajak itu adalah wanita yang secantik Maepa Deapati mungkin negara kita takkan
pernah krisis ekonomi, tapi Pajak adalah Shrek²,si monster yang buruk rupa.
Pajak
dalam sebagian besar pandangan masyarakat Indonesia adalah seorang yang buruk
rupa, apalagi sejak mencuatnya kasus Gayus Tambunan.
Sebuah
pertanyaan klasik, Apa yang mesti dilakukan agar Pajak yang dalam cermin
masyarakat adalah seorang pria bernama Gayus, berubah menjadi seorang seorang
wanita secantik Maepa Deapati.
Menurut
penulis sebagai langkah awal, ada dua hal penting yakni penampilan dan
pencitraan.Penampilan telah dimulai dengan adanya keseragaman cara berpakaian,
dan pengaturan Tempat Pelayanan Terpadu, serta desain tata ruang kantor yang
modern, namun masih ada kendala pada tahap ini yakni beberapa Kantor Pelayanan
Pajak Pratama, dan Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan yang
belum memiliki gedung sendiri, hal ini menyebabkan penampilan front office belum bisa semaksimal yang
diharapkan, kendala ini bisa diatasi dengan pengajuan belanja modal,namun untuk
memperjuangkan cairnya belanja modal bukanlah hal yang gampang, anggaran negara
memiliki begitu banyak kebutuhan yang lebih mendesak. Untuk mempermudah hal ini
ada baiknya jika belanja modal khusus tanah dan bangunan ini diajukan oleh Kantor Wilayah, nanti setelah pekerjaan
selesai baru diserahkan ke Satuan Kerja. hal ini penulis nilai lebih efektif,
dalam hal lobi dan juga masalah teknis yakni masih kurangnya
Pejabat Pembuat Komitmen yang bersertifikat pada satuan-satuan kerja di daerah.
Pengajuan
belanja modal untuk tanah dan bangunan perkantoran membutuhkan waktu,sedangkan
Direktorat Jenderal Pajak tak bisa menghentikan tuntutan untuk menciptakan birokrasi
yang modern sesegera mungkin. Bagaimana menutupi kekurangan saat ini? Untuk
mengantisipasi hal ini maka Tempat Pelayanan Terpadu selayaknya diisi oleh pegawai-pegawai yang
ramah dan murah senyum serta berpenampilan rapi, jangan asal menaruh pegawai
pada posisi tersebut, karena jika Kantor Pelayanan Pajak Pratama atau Kantor
Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan adalah sebuah tubuh, maka Tempat
Pelayanan Terpadu adalah wajahnya, dan relakah kita jika wajah dipenuhi jerawat?.
Pencitraan
adalah hal yang tidak bisa dipandang sebelah mata di era media sosial seperti
sekarang ini.Setelah memperbaiki penampilan, Direktorat Jenderal Pajak butuh
memperbaiki citra diri. Seorang gadis cantik tak akan pernah kelihatan
cantiknya jika hanya berdiam di dalam kamar, walaupun kemudian dia keluar kamar
dengan penampilan terbaik, apakah itu cukup? Tidak, agar dia bisa dikenal melewati
batas-batas desanya maka dia membutuhkan pencitraan, pencitraan ini tumbuh
melalui cerita yang baik dari mulut ke mulut.
Bagaimana
dengan Direktorat Jenderal Pajak, bagaimana menumbuhkan citra yang baik ini?
Disinilah peran para pegawai diperlukan, hendaknya tiap Kantor Pelayanan Pajak
Pratama dan Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan memiliki
pegawai yang bertugas khusus dalam hal ini, menulis dan mengabarkan
perkembangan terbaru dari lokasi kerja mereka, jika hal ini terjadi secara
konsisten, maka berita baik itu akan menjalar dari media-media sosial yang pada
akhirnya akan membentuk citra Direktorat Jenderal Pajak yang positif di mata
masyarakat.Disamping itu tiap pegawai pegawai mesti menyadari bahwa mereka
adalah duta bagi Direktorat Jenderal Pajak, mereka mesti sadar mereka selalu
diawasi oleh masyarakat, satu orang salah melangkah maka yang lain mesti
berjuang mulai dari nol lagi untuk memperbaiki citra Direktorat Jenderal Pajak,
disini pulalah peran para pegawai untuk melakukan konsep pengawasan melekat,
ingatkan teman anda, karena sebagai keluarga dalam sebuah rumah bernama
Direktorat Jenderal Pajak, ini adalah tugas bersama.
Penampilan
dan Pencitraan telah terbentuk dan berjalan, lalu apakah itu cukup? apakah
penampilan dan pencitraan yang dimiliki seseorang bisa membuat orang lain jatuh
cinta? bisa? Bisa jadi? Yakin?. Apakah jatuh cinta akibat pencitraan dan
penampilan itu ialah cinta sejati?.
Ada
hal yang penting dari proses pembentukan penampilan dan pencitraan ini, sebuah
proses yang menimbulkan rasa percaya bahwa penampilan dan pencitraan ini bukan
hanya sekedar topeng. Bagaimana caranya
membentuk rasa percaya ini? Penampilan dan pencitraan ini harus dibuat dengan
proses niat, perbuatan dan hasil yang baik. Penampilan dan pencitraan itu bukan
sekedar profesionalisme semata tapi ketulusan. Jika ini terjadi, maka seperti
dalam acara “Take me out” begitu Pajak masuk semua lampu akan menyala,
hingga akhir acara.
Disclaimer :penggambaran
pajak sebagai seorang wanita bukan untuk merendahkan martabat wanita.
Catatan
:
¹.
Badik : senjata khas suku Bugis-Makassar
².
Shrek : tokoh kartu dalam film yang diproduseri oleh DreamWorks
Komentar
Posting Komentar