Gerakan 1 Oktober, Sejarah Memiliki banyak Wajah
“Darah
itu merah jenderal”
Kutipan
diatas adalah dialog yang nyaris akan diingat oleh generasi 90an, saya adalah
salah satunya. Dialog itu adalah dialog film tentang pemberontakan PKI, atau
yang dalam buku sejarah sekolahan kita kenal dengan Gerakan 30 September/Partai
Komunis Indonesia (G.30.S/PKI), dialog lain yang terkenal dalam film itu adalah
saat dimana Aidit menghisap rokok, lalu berucap “jawa adalah kunci”, suatu
adegan yang kemudian hari akan dianggap aneh, karena Aidit menurut para saksi
sejarah bukanlah seorang perokok, bahkan dikatakan Aidit adalah seorang yang
khatam al-qur’an.
Partai
Komunis Indonesia yang supaya lebih mudah pada tulisan ini akan kita singkat
dengan PKI, adalah sebuah partai yang kuat dan solid dengan tokoh-tokoh yang
juga kuat, Komunis pada awal berdirinya bangsa ini bukanlah sebuah hal yang
haram, bahkan jika bisa dikatakan melalui tulisan-tulisan Tan Malaka yang
berpaham komunislah, bangsa ini memperkenalkan dirinya ke dunia Internasional,
Zenrs seorang sejarahwan melalui akun twitternya sering berkata Tan Malaka
bukanlah Che Guevaranya Indonesia, melainkan sebaliknya karena Tan Malaka lahir
lebih dulu, dan mengelilingi dunia lebih luas ketimbang Che Guevara.
Pada
tahun 1948,PKI pertama kali melakukan pemberontakan, dipimpin Muso,
pemberontakan ini gagal, namun dalam dua tahun PKI bisa kembali mengumpulkan
sel-selnya dan pada pemilu tahun 1955, menjadi pesaing terberat PNI, dan
Masyumi. Masa setelah itu hingga tahun 1965 adalah masa perang propaganda yang
luar biasa bagi negara ini. PKI melalui surat kabar harian Rakyat menggambarkan
Ibu pertiwi sedang hamil besar dan akan segera melahirkan, PKI telah bersiap
untuk melakukan revolusi, sedangkan di pihak lain Dewan Jenderal mulai beradu kuat dengan
Soekarno, ini terbukti saat Nasution sempat mengarahkan moncong meriam ke
Istana Negara.
Perang
urat syaraf PKI dan Dewan Jenderal mulai semakin panas dengan ide pembentukan
angkatan kelima, dewan Jenderal tidak setuju, sedangkan PKI membutuhkannya untuk
memperkuat massa dan untuk kampanye ganyang malaysia. Lalu singkat cerita 1
Oktober 1965 dini hari penculikan terjadi terhadap para Dewan Jenderal, mereka
dibunuh dan dibenamkan dalam sebuah sumur di Lubang Buaya, Sejarah berbalik,
seorang yang tidak terduga sebelumnya muncul, dialah sosok Soeharto.
Penulis
merupakan orang yang ragu jika Soeharto adalah dalang drama penculikan ini,
tapi penulis termasuk orang yang yakin Soeharto telah tahu tentang rencana ini,
namun tidak secara mendetail, dan juga dia hanya seorang “striker” yang
memanfaatkan bola muntah. Lalu dibawah bimbingan Nasution pada awalnya dia
adalah boneka, yang dijadikan alat oleh Nasution untuk melawan Soekarno. Soekarno
sendiri menyebut duet Nasution Soeharto ini dengan NATO, sekalian menyindir
mereka yang merupalan kaki tangan pihak barat, dan ini terbukti saat tahun 1967
Soeharto menandatangani freeport.
Soeharto
yang dulu sebelum 1 Oktober tidak jelas posisi politiknya kini jelas sudah
menjadi pembela TNI AD, walaupun tetap saja selalu mengucapkan kalimat kalau TNI
AD berdiri dibelakang Pemimpin Besar Revolusi, dan dengan propoganda yang
hebat, mulai dari penampilan foto-foto para jenderal yang dibunuh serta
melebih-lebihkan fakta penyiksaan tragedi Lubang Buaya, hingga kampanye hitam
yang menuding Soekarno adalah dalang tragedi tersebut dan titik ledak yakni
tragedi penembakan mahasiswa Abdul Rahman Hakim, membuat Soekarno terdesak lalu
diasingkan.
Nasution-Soeharto
sendiri, menjadi ketua MPRS dan Presiden RI, namun duet ini seperti halnya dwi
tunggal yang lain, berseberangan jalan, Nasution kecewa pada Soeharto
sebagaimana yang kita tahu menjadi diktator, Nasution jelas dipenuhi rasa
bersalah atas tragedi setelah 1 Oktober, menurut sejarahwan Bonnie Triyana,
Nasution akrab dengan anak Aidit, yakni Ilham Aidit, dan memberinya beasiswa
hingga lulus kuliah melalui yayasan yang dikelola oleh istrinya padahal kita
tahu bersama bahwa Ade Irma Nasution tewas tertembak dalam tragedi 1 Oktober,
suatu hal yang patut dicontoh bangsa ini.
Soal
film itu sendiri, penulis tak pernah menontonnya sampai usai, karena ngeri
dan besoknya bukanlah tanggal merah.
Komentar
Posting Komentar