MENGUGAT HAK SUARA RAKYAT
Rakyat adalah elemen penting
dalam sebuah negara, Rakyat adalah syarat terbentuknya suatu negara, tentu
disamping pemerintahan dan wilayah.
Pemerintahan yang ideal dewasa
ini ialah pemerintahan yang terbentuk oleh keinginan bersama rakyat, dalam
pandangan modern kita pemerintahan ini terbentuk dengan pemilu yang demokratis,
walaupun harus diakui bahwa menurut al-farabi (salah satu pemikir islam dalam
bukunya al madinah al fadhilah), sistem yang kita anggap modern ini ternyata
juga merupakan sistem yang jahiliyah karena lebih mengutamakan mayoritas,
sesuai fakta yang terjadi di negara kita suara mayoritas ini bisa dibeli oleh
apa saja, kebohongan, kekerasan, pemaksaan, dan “serangan fajar”, namun kita
abaikanlah sejenak pandangan al-farabi ini, karena di Indonesia satu-satunya
cara terbaik yaitu Pemilu yang mengutamakan suara mayoritas walau faktanya ini
belum efektif.
Pada sistem pemilu kita cara
menggunakan hak suara itu telah dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan ayat
(3) Perubahan Kedua UUD 1945 yang berbunyi, “(1) Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum; (3) Setiap warga negara berhak memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”
Hak memilih bagi rakyat merupakan
pelaksanaan dari kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Tentu dalam pelaksanaan hak
ini adalah syarat dan prosedural yang diatur oleh peraturan-peraturan
dibawahnya, namun yang menarik buat di bahas ialah pasal 69 ayat 1 dari UU
nomor 32 tahun 2004, dalam pasal tersebut berbunyi “Untuk dapat menggunakan hak memilih, warga
negara Republik Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih.”
Sekilas tidak ada yang salah dari pasal tersebut namun jika diperhatikan maka pasal ini bisa membuat seseorang kehilangan hak pilihnya. Salah satu kasus yang kini sedang di proses permohonan judicial reviewnya diajukan melalui Deddy Iskandar SH dan Zurkarnaen Zaumar SH, yang akan disidangkan tanggal 14 September 2012 ialah kehilangan Hak pilih dari pasangan suami istri Mohammad Umar Halimuddin SH dan Siti Hidayawati SH di wilayah pemilihan Jakarta Timur saat Pemilihan Gubernur DKI jakarta putaran pertama kemarin, kedua orang ini ditolak oleh PPS dengan alasan instruksi dari KPU Jakarta Timur “ Bila Pemilih tidak terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT), sepanjang pemilih terdaftar di Daftar Pemilih Sementara (DPS), dapat menggunakan Hak Suaranya di TPS dengan menunjukkan KTP yang asli dan masih berlaku.” Hal ini jika dilihat dari peraturan memang begitu seharusnya walaupun sudah memiliki KTP tapi sesuai pasal 69 (1) UU Nomor 32 tahun 2004 tadi tetap harus terdaftar minimal terdaftar pada Daftar Pemilih Sementara.
Disinilah
timbul masalah yang mesti digugat, hak memilih adalah hak rakyat yang diatur
secara konstitusional, sedangkan DPT maupun DPS adalah masalah administrasi
bukan masalah yang subtantif, secara logika jika seseorang warga negara sudah
masuk kategori hak pilih (dewasa 17 tahun/sudah menikah) maka dia berhak untuk
memilih, di negara kita hal ini bisa dibuktikan dengan KTP, jadi sudah
sewajarnya jika tiap orang yang memiliki KTP memiliki hak pilih, sedangkan DPT
maupun DPS hanya digunakan sebagai dasar administrasi untuk perhitungan
anggaran pelaksanaan pemilu dll, bukan untuk menghalangi seorang warga negara
untuk memperoleh hak konstitusinya yakni hak untuk memilih.
Disamping
itu yang perlu dikaji ialah mengapa dalam UU nomor 42 tahun 2008 pasal 111
tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
dibolehkan untuk melaksanakan hak memilih cukup dengan menunjukkan KTP
yang diperkuat dengan KK atau sejenisnya, bukankah esensi dari Pilpres dan
Pemilihan Kepala Daerah adalah sama memilih pemimpin pilihan rakyat?.
Oleh
sebab itu sebagai warga negara yang dewasa dan memiliki Hak pilih, kita berhak
untuk memperjuangkan hak-hak kita tidak boleh terbentur oleh hal-hal
administratif, maka sudah selayaknya ada pencabutan terhadap pasal 69 (1) UU
No.32 tahun 2004.
Komentar
Posting Komentar